Fungsi dan Peranan Agama dalam Bencana

Upaya Memaknai Fungsi agama dalam bencana Tsunami
Di Nanggroe Aceh Darusalam dan Sumatera Utara
26 Desember 2004
Karya: Marudut Heppy Siahaan,

Pendahuluan

Gempa dan bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh
Darusalam dan Sumatera Utara pada hari minggu 26
Desember 2004 yang lalu, telah menggoreskan luka yang
amat dalam yang sulit dilupakan dan bahkan akan
menjadi kenangan sepanjang masa di mana betapa
hebatnya kekuatan alam yang dapat menghancurkan dan
meluluhlantahkan kehidupan. Alam yang sehari-harinya
sebagai sahabat dan tempat manusia dan makluk hidup
lainnya hidup dan berkembang berubah menjadi monster
ganas yang meneror dan memangsa ratusan ribu korban
manusia. Laut yang selama ini sebagai pemandangan yang
indah, sahabat karib bagi penduduk pantai, dan sebagai
tempat mencari nafkah bagi para nelayan, tiba-tiba
berubah menjadi kekuatan maha dahsyat yang
memporak-porandakan semua yang dilaluinya. Sungguh
amat tragis peristiwa bencana alam itu.

Peristiwa itu selain menggoreskan pengalaman yang
sangat pahit, menimbulkan trauma yang amat dalam,
tentunya juga menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa
bencana ini menimpa kami? Mengapa bencana ini harus
terjadi di negeri ini? Apa salah dan dosa kami
sehingga bencana ini datang menimpa kami? Apakah
bencana ini sebagai peringatan dan hukuman Tuhan atas
doasa dan kesalahan kami? Mengapa Tuhan menghukum kami
sekejam ini? Lalu mengapa Tuhan juga menghukum
anak-anak yang tidak berdosa? Apakah bencana ini
benar-benar dari Tuhan? Apakah benar ada Tuhan? Jika
Tuhan benar-benar ada, mengapa Dia membiarkan bencana
ini terjadi? Dimanakah Tuhan pada saat bencana ini
terjadi? Dan lain sebagainya. Tentunya masih banyak
lagi pertanyaan-pertanyaan yang dapat kita ungkapkan
sehubungan dengan bencana yang melanda Aceh dan
Sumatera Utara, dan mungkin kita sendiri hanya bisa
bertanya, tetapi kita tidak menemukan jawabannya.
Makalah sngkat ini tidak berusaha menjawab semuanya
pertanyaan itu? Karena penulis juga menyadari
kelemahan dan keterbatasannya. Penulis hanya berusaha
mengungkapkan berbagai makna yang timbul dalam memakai
bencana alam ini, dan berusaha memaknainya dari sudut
studi ilmu agama-agama. Pada akhir makalah ini,
penulis akan berusaha merefleksikan makna bencana ini
melalui fungsi dan peranan agama-agama pada saat
bencana terjadi.

Deskripsi Gempa dan Bencana Tsunami di NAD dan
Sumatera Utara

Tidak lama sesudah gempa bumi melanda Alor dan Nabire,
tidak-tiba pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004,
bagsa Indonesia dan bahkan seluruh dunia dikejutkan
oleh guncangan yang meluluhlantahkan sebagian wilayah
barat Indonesia. Catatan jaringan sismik dunia,
diantaranya yang bersimpul di United States Geological
Survey (USGS), seperti dikemukakan Dani Hilman
Natawijaya, peneliti dari Pusat Penelitian
Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
– tergolong yang terbesar sepanjang sejarah. Kekuatan
gempa yang terjadi di Samudera Hindia atau berjarak
149 km sebelah barat Meulaboh, Nanggroe Aceh Darusalam
(NAD), itu terpantau oleh Global Seismic Network
sebesar 8,2 Mw (Moment Magnitude). Sementara itu, data
seismograf di Pusat Gempa Nasional (PGN) Jakarta
menunjukkan bahwa gempa hari ini berkekuatan 6,8 pada
skala richter. Namun, laporan CNN menyebutkan,
kekuatan gempa mencapai 8,9 pada skala richter,
sedangkan jaringan televisi BBC menunjuk angka 8,5
pada skala richter.

Menurut Dr. Prih Haryadi, Kepala Pusat Sistem Data dan
Informasi Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG), gempa di Aceh menimbulkan dampak kegempaan
hingga radius 200 km. Di antaranya memicu gempa di
Kepulauan Nicobar di sebelah utara pusat gempa pada
jarak 550 km serta mengguncang Pulau Andaman. Selain
menimbulkan getaran yang kuat, gempa kali ini juga
menyebabkan timbulnya deformasi vertikal di sumber
gempa. Deformasi berupa penurunan permukaan dasar laut
tersebut mengakibatkan penjalaran energi kinetik
menjadi gelombang tsunami di pantai. Daerah yang rawan
tsunami adalahd aerah yang berpantai landai dan berupa
teluk. Pada daerah teluk, energi gelombang
terperangkap hingga naik ke darat. Gempa di Meulaboh
dilaprkan bukan saja telah menimbulkan tsunami di
daerah barat NAD, tetapi juga menerjang Pulau Sabang,
gempa di Nocobar yang berkekuatan 7,3 pada skala
richter ini yang dipicu oleh gempa Meulaboh, menurut
perkiraan Prih, adalah yang menyebabkan timbulnya
tsunami di Songla dan Phuket (Thailand).

Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Dr
Heri Haryono, gempa yang posisinya di dekat Pulau
Simeulue (NAD) itu terjadi karena mekanisme kompresi
atau subdiksi, yaitu lempeng Samudra Hindia menujam
bagian bawah lempeng Asia Tenggara. Karena yang
terkaji adalah gempa subduksi, yang menyebabkan
menurunnya permukaan dasar laut di tempat pertemuan
lempeng tersebut, maka akan timbul gelombang laut yang
merambat dan menerjang pantai di dekatnya.

Dampak dari Gempa Tsunami

Bencana yang terjadi di Aceh, bukan hanya menyebkan
ribuan saudara kita meninggal dunia. Bukan pula hanya
menyebabkan luka-luka yang terlihat secara kasatmata.
Tetapi juga menimbulkan hal ihwal yang melukai jiwa,
merobek hati, menghancurkan sukma, bahkan mungkin
menimbulkan gangguan pikiran. Bayangkanlah, kisah
seorang ibu yang telah berusaha mati-matian
menyelamatkan anaknya dari terjangan gelombang pasang
yang datang tiba-tiba. Anak itu dapat ditangkapnya,
kemudian terlepas, ditangkap kembali, dan hanyut…
untuk pergi selama-lamanya. Bayangkanlah, suami yang
kehilangan istri, istri kehilangan suami, ayah
kehilangan anak, anak kehilangan ibu, dan seterusnya.
Bahkan seisi rumah wafat, kecuali tinggal seornag
diri. Bayangkanlah, semua jenasah sanak saudara itu
masih bergelimpangan. Disaksikan pula oleh mata
sendiri membusuk, tanpa bisa dikuburkan. Semua itu
jelas dapat menimbulkan trauma yang luar biasa. Semua
itu, bisa menyebabkan sebagian saudar akita tak
sanggup menahannya, tak kuasa mendapat perawatan yang
jelas. Bantuan obat-obatan terus mengalir untuk
menyembuhkan tubuh yang sakit. Tetapi bagaimana dengan
jiwa yang terluka, hati yang robek, sukma yang hancur,
yang remuk redam? Bagaimana dengan pikiran yang mulai
melayang. Kehilangan keseimbangan, tak sanggup
menanggung derita yang datang menghujam?

Dampak bencana tsunami juga dalam pendidikan. Sebanyak
1.148 guru dipastikan meninggal dunia akibat tsunami
yang melanda Aceh. Data lain ialah sebanyak 401
sekolah rusak berat. Akibatnya, diperkirakan sekitar
100.000 anak terganggu sekolahnya, bahkan tidak
sekolah sama sekali. Data itu menunjukkan salah satu
perkara yang sangat mendasar yang bisa berakibat
sangat jauh untuk masa depan. Yaitu, hilangnya
intelektualitas satu generasi karena hancurnya
prasarana dan pranata pendidikan. Bencana juga
mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan orang tua
dan keluarganya. Anak-anak itu terlantar membutuhkan
perlindungan dan pendampingan. Mereka menderita bukan
kemauan mereka, melainkan karena hal-hal yang di luar
kekuasaan kita sebagai manusia.

Bencana yang menimpa Aceh menyebabkan pemerintahannya
praktis lumpuh. Sebab, di antara puluhan ribu saudara
kita yang meninggal dunia, terdapat pula aparat
pemerintahan, mulai dari lurah, camat, hingga bupati
yang belum dapat diidentifikasi dengan lengkap.
Menurut Menteri Dalam Negeri setidaknya ada 11
kabupaten/kota madya dan 135 kecamatan yang aktivitas
pemerintahannya dinyatakan lumpuh total. Selain itu,
Aceh pun tidak lagi memiliki gubernur. Sebelum bencana
datang, Abdullah Puteh ditahan dengan tuduhan korupsi.
Setelah bencana terjadi, Puteh diberhentikan sementara
dari jabatannya. Maka, yang ada adalah seorang wakil
gubernur. Aceh dalam keadaan normal saja belum tentu
cukup hanya dipimpin wakil gubernur. Terlebih, dalam
keadaan luluh pantak multidimensi seperti saat ini.

Menurut Arlina G. Latief, bencana tsunami juga
menimbulkan efek trauma psikologis yang amat dalam
bagi para korban. Pertama, trauma kehilangan anggota
keluarga dan kehilangan material. Kedua, trauma
perjumpaan yang tiba-tiba dengan berbagai kultur asing
(pakaian berbeda, makanan berbeda, perilaku, dan
sebagainya berbeda) ketiga, tekanan karena tiba-tiba
mereka menjadi orang-orang yang terpaksa bergantung
kepada orang lain untuk kesejahteraan yang paling
dasar sekalipun. Secara khusus bagi korban tsunami
Aceh, sebelumnya mengalami efek psikologis dari
kondisi darurat militer, kultur mereka berada dalam
tekanan atau stress pada saat terjadinya bencana
tersebut. Saya kurang setuju dengan pendapat Latief
yang kedua. Menurut saya penilaian itu bersifat
objektif belaka, tidak berdasarkan pengalaman empiris
di lapangan. Menurut Bapak Bernard Adeney Risakotta,
yang terjun langsung ke lapangan melihat daerah-daerah
yang dilanda bencana, memberitahukan bahwa orang-orang
Aceh sangat ramah, sangat dekat dan bersahabat. Jadi,
penilaian Latief tersebut berkesan berlebihan, apalagi
Latief sendiri mengaku dia belum pernah ke Aceh
melihat secara langsung dampak peristiwa bancana
tsunami tersebut. Informasi yang dia peroleh hanya
dari media masa/elektronik, dan dari kawan-kawannya.

Bencana Menembus Batas dan Bangkitnya Solidaritas

Bencana telah membuka pintu kemanusiaan. Bencana telah
menerobos batas-batas negara. Bencana telah menghapus
perbedaan bangsa, perbedaan warna kulit. Bencana telah
membongkar keangkuhan dan kesombongan manusia. Menarik
untuk menyimak apa yang dikatana oleh Letnan Kolonel
Cornel Daud Khan, juru bicara kontingen Pakistan:
“Bangsa Indonesia adalah saudara kami. Anda juga
saudara kami. Itulah sebabnya kami datang ke sini, ke
Medan, ke Banda Aceh, dan juga daerah-daerah lain yang
terkena bencana. Kami datang untuk membantu
saudara-saudara kami yang sedang menderita. Harus! Itu
harus kami lakukan, tanpa paksaan, tanpa tekanan,
tanpa pesan-pesan politik. Tidak! Semuanya murni
karena dorongan kemanusiaan. Dorongan hati nurani
untuk membantu saudara…” Ia hanya satu dari 31 orang
personel militer gelombang pertama asal Pakistan yang
datang ke Indonesia untuk memberikan bantuan
kemanusiaan keada korban gempa dan tsunami di Aceh dan
Sumatra Utara. Tim pakistan diantar Menteri Luar
Negeri yunior Khusro Bakhtiar. Bukan hanya Pakistan
yang tergerak untuk mengulurkan bantuan. Sebelumnya
sudah ada datang rombongan antara lain dari Perancis,
Singapura, Australia, Selandia Baru, dan Kwait. Mereka
datang dengan membawa pesawat, kapal sendiri. Mereka
datang membawa perlengkapan sendiri, selain bantuan
kemanusiaan. Bahkan Amerika Serikat, Australia, Kwait,
Perancis dan Pakistan telah membangun rumah sakit
darurat untuk menolong para korban yang sedang sakit.
Tidak sedikit para pemimpin negara berkunjung ke
daerah bencana. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien
Loong sudah pula berkunjung ke Meulaboh dan Banda
Aceh. Menteri Luar Negeri AS Colin Powell pun tiba di
Banda Aceh. Sekretaris Jendral PBB, Kofi Annan juga
mengunjungi daerah bencana. Bahkan duet mantan
presiden Amerika Serikat, George Bush dan Bill Clinton
sebagai utusan khusus Amerika Serikat untuk
penanggulangan Bencana, juga datang berkunjung ke
daerah bencana. Dimana-mana, baik di Meulaboh maupun
Banda Aceh terlihat tentara yang berasal dari pelbagai
negara. Ada tentara Singapura, tentara Pakistan,
Tentara Perancis, tentara Australia, tentara AS,
tentara Malaysia, tentara Spanyol dan masih banyak
yang lain. Di Bandar Udara Polonia Medan terlihat
berbagai pesawat terbang, baik helikopter maupun
pesawat ringan dan herkules yang berasal dari berbagai
benara. Sejumlah marinir AS, yang dikirim dari
pangkalan mereka di Okinawa, Jepang, bergotong-royong
dengan tentara Indonesia menurunkan dan menaikkan
bahan-bahan bantuan di Medan.

Derita Aceh telah membangkitkan kesetiakawanan sosial
yang luar biasa. Sesama anak bangsa, tanpa mengenal
agama, suku, ras dan jenis kelamin, terpanggil untuk
berbuat yang terbaik sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Setiap hari, bantuan kemanusiaan berupa
uang, barang, dan jasa terus mengalir. Yang kaya
membawa uang besar, yang miskin membawa uang kecil.
Nilainya sama di hadapan Sang Maha Pengasih. Bahkan,
yang cacat pun datang menyumbang. Mengharukan karena
tingginya kepedulian, membanggakan karena tingginya
solidaritas. Sesama anak bangsa membuka hati,
mengulurkan tangan, memberi yang terbaik bagi anak
bangsa yang sedang dirundung malang. Nilai-nilai luhur
telah kembali. Banyak orang sekarang bergerak, bukan
hanya menymbangkan sebagian hartanya, tetapi
menyiapkan dirinya sendiri sebagai relawan sosial. Ada
para dokter yang ingin mengabdikan profesinya untuk
menyelamatkan yang sedang menderita sakit. Dan, banyak
lagi yang lain. Tetapi, mereka semua tidak tahu
bagaimana caranya sampai ke Aceh.

Begitulah, bantuan mengalir, relawan tersedia, tetapi
persoalan lain muncul. Yaitu, transportasi udara untuk
mengangkutnya terancam macet. Dari bandara di Banda
Aceh, penerbangan mengutamakan untuk mengangkut anak
bangsa yang hendak diselamatkan nyawanya dengan
membawanya berobat ke Medan. Setelah pesawat-pesawat
ini terbang, barulah bandara bisa menampung
pesawat-pesawat yang datang membawa bantuan
kemanusiaan. Tetapi diperlukan waktu yang lama untuk
membongkar muatannya, karena kekurangan tenaga orang.
Akibatnya, bandara seperti mengalami kemacetan. Karena
itu, pesawat yang hendak menuju Banda Aceh dialihkan
dulu ke Polonia, Medan. Tetapi, akibatnya pun sama,
yaitu bandara mengalami kemacetan. Bagaikan efek
dominan, karena Polonia macet, pesawat lalu dialihkan
untuk parkir di Pekan Baru. Rakyat telah menyumbangkan
uang, barang, dan jasa untuk menolong saudara kita di
Aceh. Sesama anak bangsa pun telah menyediakan dirinya
untuk menjadi relawan. Tetapi, semuanya menjadi macet
karena buruknya koordinasi nasional. Adalah ironis,
bahwa bantuan kemanusiaan melimpah, relawan sosial pun
siap diterjunkan, namun tidak bisa diangkut. Salah
satu jalan keluar adalah mengizinkan pesawat terbang
malam. Bahkan, membukanya untuk penerbangan 24 jam.

Persepsi yang Berkembang terhadap Bencana

Bencana tsunami yang melanda Aceh dan Sumatra Utara
(Nias) telah menimbulkan berbagai macam persepsi,
tanggapan, komentar, penafsiran di dalam masyarakat.
Persepsi ada yang lebih menyoroti korban. Bencana
dihubungkan dengan kesalahan dan dosa-dosa dari para
korban bencana (blaming the victims). Bencana sebesar
ini tal lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan
kesombongan para korban selama ini. Bencana ini
sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara
pelbagai elemen anak bangsa di Serambi Mekkah yang
tidak kunjung usai. Pertikaian antara TNI dan GAM yang
saling bunuh-membunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga
tak kunjung taat terhadap Ibu Pertiwi, NKRI.
Demikianlah tafsiran teologis, yang sepenuhnya
spekulatif dan kental aroma pemikiran ala Orba itu
menggema di sebagian masjid. Jadi tragedi bencana ini
merupakan ujian. Bencana Aceh merupakan “ujian” Tuhan
untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh
dalam menjalankan Syariat Islam, dan menjaga status
Aceh sebagai Serambi Mekkah.

Ada juga yang menghubungkan bencana dengan dosa
nasional. Bangsa dan negara Indonesia telah lama
terbuai hidup dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
merupakan penyakit yang telah lama merasuki birokrasi
pemerintahan, demikian juga lembaga legeslatif dan
yudikatif. Konflik antar suku dan agama, kekerasan,
pembunuhan, dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana.
Dan masih banyak lagi yang lain. Menurut persepsi ini,
bencana tsunami yang melanda Acehdan Nias adalah
sebagai akibat dari dosa nasional senidri. Jadi
bencana merupakan peringatan dan hukuman Tuhan bagi
bangsa Indonesia. Selain menyalahkan korban dan bangsa
(nasional), ada juga persepsi yang menyalahkan Tuhan
(blaming God). Persepsi ini memandang Tuhan begitu
kejam. Tuhan yang telah menghancurkan kehidupan
melalui bencana. Tuhan dianggap sebagai sumber
malapetaka. Saya juga menemukan pendapat dari seorang
bapak yang beragama Islam Kejawen yang tinggal di
dekat rumah kost saya di Iromejan. Menurut dia,
bencana alam yang terjadi di Aceh dan Nias adalah
akrena penduduk di sekitar pantai tidak lagi
menghormati alam di sekitarnya, khususnya laut
sendiir. Mereka lupa memberikan sesajen untuk
menenangkan alam. Merea telah lupa bahwa alam akan
marah jika sesajen tidak dipersembahkan secara rutin
melalui suatu acara ritual tertentu. Dan masih banyak
mungkin persepsi yang berkembang, yang tidak dapat
kami himpun seluruhnya dalam makalah ini. Berikut ini
saya akan menguraikan beberapa persepsi yang
berkembang.

Bencana Dihubungkan dengan Multi Krisis Bangsa

Menurut Ahmad Gibson al-Bustoni, mimpi buruk telah
melanda bangsa Indonesia. Mimpi buruk itu adalah
tentang keruntuhan bangsa ini karena ketidakpedulian
dan penyakit saling curiga. Mimpi tentang perebutan
kursi gading dan berlomba menumpuk kekayaan dengan
cara melubangi perahu yang dibangun dan dinaikinya
sendiri. Badai tsunami yang telah memorak-porandakan
wilayah Aceh dan Sumatra Utara hanyalah sebagian dari
bayang-bayang ekstrem dalam cermin dari
porak-porandanya bangsa ini. Alam telah berkali-kali
mengirimkan surat dukanya melalui gempa bumi, longsor,
banjir, dan bencana lainnya. Namun, alih-alih tak
pernah menjadi sadar dan melakukan introspeksi diri.
Penyakit kita malah semaki parah dan hampir sekarat.
Kita hanya bisa belajar mencari kambing hitam dan
mencari selamat sendiri. Menurut Bustomi, bencana alam
merupakan salah satu misteri ketuhanan. Tetapi bencana
juga berujung pada apa yang manusia lakukan. Allah
berfirman dalam salah satu ayat-Nya, bahwa bencana
alam terjadi tidak lain dan tidak bukan sebagai akibat
dari tangan-tangan manusia sendiri yang begitu
bernafsu dan bersemangat untuk merusak alam. Dan, efek
dari perusakan itu, seperti juga firman Allah, tiak
hanya akan menimpa manusia-manusia yang melakukan
kerusakan, tetapi seluruh manusia, termasuk yang tidak
tahu-menahu tentang proyek perusakan alam tersebut.
Bustomi berusaha mendukung pendapatnya ini dengan
mamakai Firman Allah, tetapi dia tidak menyebutkan
satu pun ayat dalam al-Quran yang mendukung
pendapatnya. Adalah lebih baik sekiranya Bustomi
memberikan alasan teologis untuk membuktikan bahwa
bencana tsunami merupakan hukuman Allah atas dosa
nasional bangsa Indonesia. Tokoh Muhammadiyah, Syafii
Maarif, sepertinya juga lebih menghubungkan bencana
dengan kebobrokan moral bangsa. Dia mengatakan,
“suasana moral bangsa ini semakin hari semakin rapuh.
Pukulan sejarah atas tubuh dan jiwa bangsa ini datang
hampir tanpa henti-hentinya. Namun, apakah
pukulan-pukulan itu dapat menggugah hati nurani untuk
melepaskan diri dari dosa dan dusta yang telah
bertimbun-timbun kita lakukan? Atau kita tetap akan
memalingkan muka dari kebenaran dan keadilan? Kita
akan terus bersuara sampai bangsa ini siuman dari
segala dosa dan dusta yang telah kita peragakan begitu
lama dengan korban yang cukup banyak, dan tidak jarang
dengan memakai kutipan-kutipan sakral serta jubah
agama, seakan-akan Tuhan bisa kita seret kesana-kemari
menurut selera rendah kita. Semoga agama yang kita
pahami dan laksanakan secara tulus akan mendorong kita
untuk tampi sebagai umat yang memiliki kearifan
sejarah. Semoga kita tidak mengulang dosa dan dausta
di masa yang akan datang, supaya bangsa ini tidak
terlalu berat memikul beban sejarahnya”. Persepsi
senada juga disampaikan oleh Ketua PBNU, Hasyim
Muzadi. Menurut Muzadi, “Kemampuan moral individu
penting karena dalam konteks yang lebih luas moral
kebangsaan sedang tak jelas di mana arah dan
tempatnya. Karena itu, norma yang kohnitif di negara
ini menjadi hambar, tanpa kowa”. Menurut Hasyim
Muzadi, terpisahnya moral kebangsaan dari politik
menjadikan politik bergeser dari fungsinya menegakkan
keadilan, memberikan kesejahteraan; ekonomi menjadi
bagian dari eksploitasi dan penindasan; desentralisasi
menjadi desentralisasi korupsi dan keserakahan;
keadilan hukum hanya menjadi milik mereka yang punya
uang”. Dengan demikian, tokoh agama juga memahami
bencana tsunami yang melanda Aceh dan Nias sebagai
akibat merosotnya moral bangsa. Saya kurang setuju
dengan pendapat ini. Bencana tsunami ini tidak bisa
serta merta dikaitkan dengan dosa nasional. Kalau
begitu pemahamannya, maka pertanyaan saya yang timbul
adalah, mengapa Aceh dan Nias yang harus memikul dosa
dan kebobrokan bangsa ini? Jakarta misalnya yang harus
terkena bencana? Bukankah Jakarta dipenuhi
koruptor-koruptor dan penjahat-penjahat kelas kakap
negeri ini? Menurut sya tidak pada tempatnya
menghubungkan bencana tsunami ini dengan dosa nasional
yang justru harus dipikul oleh orang-orang Aceh dan
Nias sendiri.

Bencana Dihubungkan dengan Tindakan Manusia yang
Mengakibatkan Krisis Ekoligis

Menurut Syamsurizal Panggabean bencana alam tidak
sepenuhnya fenomena alam. Dalam pandangan Alquaran
sekalipun, kita akan tahu bahwa kita keliru melihat
itu semata-mata sebagai fenomena alam. Pergesertan
lempeng bumi memang fenomena alam dan itu merupakan
hukum Tuhan. Air yang tersedot, kemudian datang lagi
dalam gelombang-gelombang besar yang susul-menyusul,
itu mungkin masih hukum alam. Tapi, kita juga diajak
untuk menilik aspek non alam atau aspek yang manusiawi
dari bencana seperti ini. Faktanya, banyak sekali
orang aceh yang bermukim di tepi pantai yang luas
sekali dan sudah tidak lagi memiliki hutam bakau.
Banyak sekali terumbu kaang yang sudah dimusnahkan.
Akibatnya, mekanisme alami untuk menghadang tsunami,
baik di Indonesia, di Sri Langka, ataupun Thailand,
sudah tidak ada sama sekali. Jadi, dilihat dari aspek
itu, sekali peran dan keterlibatan manusia dalam
bencana.

Menurut Bustomi tangan-angan manusialah yang merusak
kelestarian alam. Manusia lebih peduli dan
mendahulukan kesejahteraan ekonomi dengan melakukan
kerusakan terhadpa alam daripaa upaya alam (gerak dan
dinamika alamiah) untuk mengembalikan kondisinya yang
telah rusak ke keadaan semula. Apakah salah bila alam
berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri,
penyembuhan dari sakit yang disebabkan oleh
tangan-tangan manusia? Manusia sebagai khalifah Tuhan
di muka bumi mengemban tugas dan fungsi untuk menjaga
dan memelihara bumi ini beserta unsur-unsur
pendukungnya. Keimanan kepada Allah tidaklah sama
sekali memiliki arti apapun bila tidak disertai dengan
upaya untuk mengaktualisasikan fungsi-fungsi
kekhilafahannya. Menurut Bustomi, jangan salahkan
Tuhan bila bencana alam menimpakita karena terdapat
manusia-manusia di antara kita yang tidak pernah
peduli pada tugas kekhilafahannya.

Bila kita melakukan itrospeksi secara arif, kita hrus
mengakui betapa bencana-bencana yang menimpa kita
sebenarnya kita sendiri yang mengundang, bahkan
menciptakannya. Hutan-hutan terus kita tebang dan
dibiarkannya gundul, bencana banjir, longsor, dan
kekurangan air bersih. Bencana itu kita undangdan kita
buat sendiri. Limbah-limbah industri dan sampah kita
buang ke sungai dan ke laut. Isi perut bumi kita
kuras, sehingga terjadi kekosongan di antara
lapisan-lapisan bumi. Bahkan, udara pun kita penuhi
dengan asap-asap beracun. Ketika pada akhirnya bencana
ituterjadi, kita cenderung mencari kambing hitam dan
cuci tangan dari apa yang telah kita lakukan, termasuk
dengan cara menyalahkan dan mengutuk Tuhan. Padahal
Tuhan telah mengingatkan kita bahwa bencana akan
menimpa seluruh manusia bila ada manusia yang demikian
ringan tangan untuk merusak alam. Bila bencana alam
itu lebih sebagai akibat dari tangan-tangan kita
sendiri, bisa dimengerti bila bukan hanya manusia yang
mengalami bencana, karena yang pertama kali mengalami
bencana adalah alam itu sendiri. Bencana yang diderita
oleh alam yang disebabkan tangan-tangan manusia, dan
manusia tidak pernah peduli. Sehingga, pada akhirnya
manusia pula yang menerima akibatnya. Dengan kata
lain, bencana alam lebih banyak disebabkan oleh
terjadinya bencana kemanusiaan. Bencana yang dicirikan
oleh sikap sok kuasa manusia terhadap alam dan
ketidakpedulian manusia terhadap akibat dari kerja
tangan manusia sendiri terhadap alam. Padahal bumi ini
adalah rumah tinggal yang sesungguhnya bagi manusia
selama manusia hidup di muka bumi. Rumah yang harus
dipelihara, dijaga, dan dipercantik secara bersama,
bukannya dirusak. Hanya manusia yang telah kehilangan
akal sehat dan rasa kemanusiaannya yang begitu tega
merusak tempat tinggalnya sendiri. Alam telah sekian
lama sakit meradang dan menangis, memohon uluran
tangan manusia. Bencana yang kita derita kini tak
lebih tak kurang adalah sebagai akibat dari apa yang
telah kita lakukan. Lebih lanjut Bustomi mengatakan,
dalam term agama, itulah yang disebut kufur. Kita
menutup mata dan telinga kita, bahkan hati kita, untuk
menerima kenyataan keberadaan kausalitas alam yang
akan menimpa kita, baik ataupun buruk, padahal kita
mengetahui dan meyakininya. Fenomena kausalitas alam
ini tak lain dan tak bukan sebagai ayat dan firman
Tuhan, dan kita kufur terhadap-Nya. Kufur kita atas
hukum kausalitas alam yang Tuhan ciptakan, mirip
dengan keimanan kita pada Tuhan akan tetapi dalam
waktu bersamaan kita melupakan-Nya.

Menurut saya di satu sisi, pendapat Syamsurizal
Panggabean dan Bustomi ini dapat diterima. Misalnya
kasus penebangan hutan secara sembarangan dari
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dapat
menimbulkan bencana ekologis. Hutam yang telah gundul
dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Juga
apat mengakibatkan terganggunya cuaca dan ekosistem.
Karena itu kerusakan ekologis dan bencana alam yang
ditimbulkannya adalah efek dari tindakan kerakusan
manusia terhadap alam, dan sekaligus juga merupakan
tanggung jawab manusia. Namun, untuk bencana tsunami
yang melanda Aceh dan Sumatera sepertinya kejahatan
manusia terhadap alam tidak dapat langsung dihubungkan
serta merta. Apa rupanya hubungan kejahatan
orang-orang Aceh dan Nias terhadap alam dengan bencana
tsunami?

Perspentif Bencana Alam adalah Murni sebagai Peristiwa
Alam

Bencana alam merupakan murni sebagai peristiwa alam.
Bencana tidak perlu dihubungkan dengan tindakan
kejahatan dan dosa-dosa manusia. Terjadinya bencana
alam lepas dari campur tangan Tuhan. Jadi bencana
tidak ada hubungannya dengan manusia dan juga dengan
Tuhan. Bencana alam benar-benar sebagai peristiwa
alam, terjadi secara alamiah, dengan sendirinya tanpa
campur tangan manusia dan Tuhan. Tuha tidak tahu
menahu dengan bencana alam yang terjadi. Pendapat ini
banyak didukung oleh orang-orang yang berkecimpung
alam bidang ilmu eksakta sains dan teknologi. Namun
saya juga mempertanyakan pendapat ini. Apakah alam
bisa terlepas dari Tuhan? Apakah realitas alam tidak
sebagai realitas Tuhan? Apakah bukan Tuhan yang
menciptakan alam ini? Apakah bukan Tuhan yang mengatur
harmonisasi segala gerakan benda-benda yang ada di
alam ini supaya berjalan dengan baik? Apakah memang
benar Tuhan membiarkan alam bekerja sendiri, tanpa
campur tangan Tuhan? Apakah memang benar Tuhan tidak
tahu menahu dengan peristiwa alam yang terjadi,
termasuk bencana alam? Dan masih banyak lagi
pertanyaan yang bisa diutarakan. Menurut keyakinan
saya peristiwa bencana alam tidak bisa terlepas dari
Tuhan. Selain Tuhan berkarya dalam hidup manusia. Dia
juga berkarya di dalam alam ciptaan-Nya. Saya yakin
Tuhan mengetahui segala peristiwa alam yang terjadi.
Tidak ada yang luput dari perhatianNya.

Fungsi Agama-Agama dalam Bencana Tsunami

Menurut saya melihat makna dan berusaha memaknai
secara positif bencana tsunami ini adalah lebih baik
daripada erusaha untuk menemukan jawaban di balik
bencana tsunami ini. Bagi saya bahwa tsunami masih
menyimpan misteri yang sulit untuk dipecahkan. Karena
itu alangkah baiknya, berhenti sejenak menemukan
jawaban misteri itu, dan mengubah haluan, yaitu
bagaimana kita menolong para korban yang sangat
menderita, dan berusaha memperbaiki dampak bencana
agar lambat laun keadaan bisa pulih kembali.

Dalam hal inilah menurut saya fungsi agama harus
tampak ke permukaan. Bagaimana agama-agama menjalankan
fungsi dan peranannya dalam situasi kehidupan yang
serba kacau. Mampukah agama memberikan secercah
harapan di tengah-tengah situasi yang suram dan khaos?
Mampukah agama-agama mengubah situasi ini menjadi yang
lebih baik? Menurut saya dalam situasi seperti ini,
agama harus mampu menunjukkan fungsi transformatifnya,
yang mempunyai kekuatan transformatif dan kreatif bagi
masyarakat. Ini merupakan bagian inti fungsi profetik
agama-agama, dengan demikian agama-agama mampu tampil
bersama-sama selaku pemberi alternatif dan selaku
penerang bagi masalah kemanusiaan kita sekarang ini.
Bagaimana agama-agam mengaplikasikan doktrin
keagamaannya dalam kenyataan kontemporer sekarang ini,
secara khusus dalam situasi bencana yang melanda
orang-orang beragama di Aceh dan Nias?

Menurut saya, tidak saatnya lagi agama-agama hanya
menyampaikan kotba-kotbah politik dan moral dalam
situasi bencana. Tetapi menunjukkan aksi dan tidakan
yang nyata yang dapat menolong korban dari derita dan
keterpurukan yang dialami. Para korban tidak hanya
menderita tsunami fisik, tetapi menurut saya yang
paling menyakitkan adalah “tsunami batin”. Karena itu
para korban harus segera ditolong dan disembuhkan.
Dalam hal inilah tepat apa yang dikatakan oleh J.B.
Banawiratma, bahwa salah satu moment yang menentukan
dalam usaha berteologi, khususnya, dalam teologi
agama-agama, yakni momen diam. Momen diam ini dapat
dijalankan alam bentuk pembicaraan rasional pada etika
dan aksi. Penalaran etika ini dapat berbentuk etika
emansipatoris yang memperjungkan pembebasan, keadilan,
keamanan dan partisipasi atau lebih jauh sebagai
politik kehidupan, bagaimana seharusnya kita hidup
dalam menghadapi masalah-masalah eksistensial. Menurut
saya teologi agama-agama harus diwujudnyatakan dalam
meresponi masalah-maslaah eksistensial yang kita
hadapi sekarang ini, salah satunya adalah masalah
bencana alam yang melanda saudara-saudara kita di Aceh
dan Nias. Disinilah diuji dan peranan agama-agama.
Menurut Frans Magnis Suseno, fungsi dan peran
agama-agama dalam memajukan bangsa akan tergantung
bagaimana mereka mendukung cita-cita kemanusiaan
universal. Cita-cita kemanusiaan universal dapat
mempertemukan agama-agama yang berbeda. Dalam hal
bencana tsunami, paradigma kemanusiaan yang universal
itu adalah solidaritas nasional dan perlindungan
terhadap yang lemah. Agama-agam sebaiknya melihat
saudara-saudara yang menjadi korban sebagai saudara
sendiri, karena itu perlu ditolong dan dilindungi.
Menurut saya hanya dalam tindakan nyata melalui usaha
menolong para korban fungsi agama menjadi nyata.

Apakah agama benar-benar mempunyai makna fungsional
ditentukan oleh apakah ia mempunyai nilai praksis.
Tanpa nilai praksis, ia tidak berfungsi. Agama-agama,
bila benar-benar mau berfungsi, harus bersiteguh hati
menerobos kebekuan dogmatisme dan ritualismenya, dan
mulai menaruh perhatian yang amat serius terhadap
tantangan-tanangan etis. Ketika agama-agama secara
sendiri-sendiri menyadari tantangan-tantangan etis
ini, ia akan menyadari bahwa tantangan-tantangan etis
ini adalah tantangan-tantangan bersama.
Masalah-masalah etis mendasar yang sedang kita hadapi
semuanya adalah masalah bersifat “lintas agama”, yaitu
masalah-masalah yang menyangkut kemiskian,
ketidakadilan, kebebasan, HAM, demokrasi, lingkungan
hidup, kesenjangan sosial dan sebagainya adalah
masalah-masalah yang tidak membeda-bedakan agama.
Bencana tsunami adalah bencana nasional. Bencana
tsunami adalah bencana kita bersama. Dalam hal inilah
agama-agama sangat berperan menyadarkan umatnya agar
memandang bencana tsunami ini sebagai masalah bersama,
yang harus dihadapi dan ditanggulangi secara
bersama-sama. Bidang yang mempersatukan semua umat
manusia dan semua agama dalam bencana alam ini adalah
bidang “humanitas” atau “kemanusiaan”. Pokok humanitas
berhubungan dengan persoalan bagaimana mengakui
kemanusiaan orang lain juga, dan dari sana bertolak
untuk menggumuli permasalahan bersama manusia dan
aspirasi bersama manusia. Agama, daripada
memacah-belah umat manusia, seharusnya mempersatukan
umat manusia. Keprihatinan sosial bersangkut-paut
dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi bersama
oleh umat beragama.

Menurut Hans Kung, agama ditempatkan secara positif
jika agama itu berfungsi dalam dataran humanitas,
dalam dataran yang di dalamnya doktrin iman dan moral,
ritus dan institusi, berkembang dalam identitas para
penganutnya (baik laki-laki dan perempuan), sense of
meaning dan sense of dignity, dan membiarkan mereka
mendapatkan eksistensi yang berarti dan bermanfaat.
Humanitas yang benar mengimplikasikan agama yang
benar. Itu berarti baha humanum (penghormatan terhadap
martabat manusia dan nilai-nilai dasar) adalah syarat
minimal dari setiap agama: di mana perasaan religius
yang autentik direalisasikan, paling sedikit ada
humanitas (kriteria minimal). Agama yang benar adalah
pemenuhan humanitas yang benar. Itu berarti bahwa
agama (sebagai ungkapan yang mencakup semua makna,
nilai-nilai agung, kewajiban tanpa syarat) adalah
merupakan implikasi yang optimal sebagai realisasi
dari humanum: agama secara paertikular (kriteria
maksimal) di mana humanitas harus direalisasikan dan
dinyatakan secara konkrit sebagai suatu kewajiban yang
benar-benar tanpa syarat dan universal. Jadi agama
baru benar-benar agama jika agama itu berfungsi dalam
dataran humanitas. Dalam hal ini, menurut saya
pemahaman Kung ini sangat membantu agar agama-agama
menyadari tugas dan fungsinya untuk humanitas. Karena
itulah agama-agama terpanggil dan berkewajiban
meresponi bencana tsunami yang sedang melanda
saudara-saudara kita di Aceh dan di Sumatera Utara.
Adalah tugas dan kewajiban agama-agama di Indonesia
untuk menolong orang-orang yang menjadi korban bencana
tsunami. Menurut Frans Magnis Suseno, tanda keagamaan
yang bermutu adalah keterbukaannya dalam solidaritas
spontan dengan mereka yang menderita, tertinggal,
lemah, para korban. Apa yang kita perbuat untuk
saudara-saudara kita di Aceh adalah untuk membuat
mereka dapat mengalami bahwa mereka tidak sendirian,
bahwa betul-betul orang-orang dari lain daerah di
Indonesia dan dari umat lain turut peduli kepada
mereka.

Kita menyaksikan solidaritas terhadap masyarakat Aceh
dan Nias begitu tinggi. Di mana-mana ada penggalangan
dana dan barang kebutuhan bagi para korban. Berbagai
lapisan masyarakat dari beragam agama, suku, dan
beragam status sosial berbondong-bondong berbuat
kebajikan. Bahkan, dengan keiklasan yang amat tinggi
banyak yang mendaftar sebagai relawan. Seluruh umat
beragama juga tidak henti-hentinya memanjatkan doa
untuk korban bencana. Solat gaib digelar di hampir
seluruh masjid di Indonesia. Gereja, Pura, dan
tempatlain juga melakukan aktivitas yang sama. Doa
bersama juga digelar masyarakat lintas agama. Aksi
kemanusiaan dan doa itu adlaah modal masa depan kita,
masa depan Aceh. Mari kita bangkitkan spiritnya. Mari
kita besarkan hatinya bahwa mereka tidak sendirian.
Seluruh bangsa ini adalah sahabatnya, saudaranya. Kita
akan ikut dalam suka, kita akan ikut dalam duka
mereka. Karena kita semua mencintai Aceh dan Nias.

Dalam situasi bencana, agama-agama terpanggil untuk
memberikan pengharapan. Pengharapan di tengah-tengah
situasi penderitaan, kematian prematur korban. Di
tengah dunia yang tampak buram inilah komunitas
manusiawi-beriman dipanggil sebagai komunitas
pengharapan. Memang kita tidak dapat melakukan segala
sesuatu. Namun, kita dapat berbuat sesuatu bagi para
korban. Solidaritas mulai dari kesadaran humanitas
kita sebagai komo socius terhadap the suffering
others. Solidaritas tumbuh dari praksis Allah sendiri
yang berkenan menjumpai kita dalam realitas
penderitaan dunia. Kesaksian bersama kita sebagai
komunitas pengharapan dapat memberi penghiburan,
membalut luka-luka, dan memberi inspirasi kepada jauh
lebih banyak korban yang mengalami penderitaan. Kasih
menggerakkan tangan kita sebagai komunitas
manusiawi-religius untuk mengulurkan tangan kepada
mereka yang terluka, kehilangan tempat tinggal, karena
bencana kemanusiaan. Sebagai komunitas
manusiawi-beriman, kita diundang dan dipanggil memberi
kesaksian komunal mengenai kasih Allah, terutama
kepada mereka yang mengalami penderitaan.

http://g13b.situsgd.web.id/2008/04/01/fungsi-dan-peranan-agama-dalam-bencana/

Tinggalkan komentar