BERSAHABAT DENGAN ALAM, BERSAHABAT DENGAN ANCAMAN

Ahmad Gibson al-Bustomi

Pendahuluan:

1. Paradigma Ancaman

Persitiwa bencana Tsunami di Aceh, ternyata memiliki
pengaruh yang tidak kecil, bukan hanya pada masyarakat
Aceh, akan tetapi juga pada masyarakat lainnya di
Indonesia. Sebuah peristiwa yang memiliki dampak yang
luas, melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Aceh
dengan Tsunamina merupakan fenomena yang sangat
kompleks, dan kini malah jangan-jangan berubah menjadi
fenomena misterius yang tidak bisa disentuh oleh
orang-orang awam, terutama yang jauh dari Aceh.

Selain itu, saya mempertanyakan suatu persoalan
mendasar berkenaan dengan bencana Tsunami, dan
bencana-bencana lainnya di Indonesia, apakah apa yang
terjadi betul-betul sebagai bencana alam atau tak
lebih dan tidak kurang sebagai konsekwensi dari
terjadina bencana lain yang terjadi di Indonesia?
yaitu bencana “kemanusiaan”. Orang bisa berkilah bawah
bencana Tsunami merupakan bencana yang murni
disebabkan oleh alam, yang sulit diduga dan sulit tuk
diatasi penyebabnya, serta segudang alasan lainnya;
akan tetapi bagaimana dengan bencana longsor, banjir,
kebakaran hutan, bencana yang disebabkan oleh
pemanasan global (global warming), pendangkalan dan
pencemaran sungai, dan lain sebagainya? Sejumlah
bencana yang diakui atau tidak sumbangsih manusia
dalam terjadinya bencana tersebut sangatlak besar,
kalau tidak dikatakan bahwa bencana tersebut emang
dibuat oleh manusia, baik secara langsung atau tidak.

Salah satunya, dengan munculnya gagasan untuk
mengenalkan segala hal yang berhubungan dengan bencana
dan cara menghindarinya kepada siswa SD melalui
kurikulum tertentu. Gagasan dan upaya yang perlu
mendapatkan acungan jempol, karena gagasannya saja
sudah merupakan wujud kepedulian dan tanggung jawab
yang harus mendapat dukungan dari berbagai pihak,
apalagi karena gagasan ini tidak hanya berhenti di
wacana dan gagasan belaka, akan tetapi berujung pada
upaya untuk mengaktualisikannya, yaitu dalam bentuk
penyususnan kurikulum dan buku.

Dalam konteks itulah, ketika terjadi bencana Tsunami
di Aceh, saya menulis sebuah artikel di Harian Pikiran
Rakyat, dengan judul : Bencana Alam atau Bencana
Kemanusiaan?; Berkaca dari Tahun Bencana Indonesia.
Saya sebut tahun bencana, karena entah kabetulan atau
bukan, bencana Tsunami bukanlah satu-satunya bencana
yang terjadi di Indoensia, pada tahun itu dan juga
tahun-tahun sebelumnya. Namun, dengan terjadinya
bencana Tsunami pada tahun itu, seperti ada kata
sepakat, dengan momentum peristiwa Tsunami di Aceh,
untuk menjadikan tahun itu sebagai tahun bencana.
Kalau saja bencana Tsunami di Aceh tidak terjadi saya
sulit tuk percaya bahwa kita sebenarnya dikelilingi
oleh sejumlah ancaman dalam bentuk bencana yang bisa
merengut riuan, bahkan ratusan ribu korban hanya dalam
hitungan menit. Keraguan ini terbukti bahwa kini efek
psiko-sosial terhadap masyarakat Indonesia secara umum
dari peristiwa bencana Tsunami di Aceh dan di beberapa
tempat lainnya mulai agak surut, dan hanya sekedar
menjadi kenangan masa lalu yang kelam. Padahal
peristiwa tersebut bisa dijadikan moment strategis
untuk memupuk kepedulian dan kepekaan sosial
masyarakat dan negera terhadap ancaman bencana (dengan
berbagai variasinya). Memupuk kesadaran akan
pentingnya memelihara dan melestarikan alam dan
lingkungan sosialnya secara proaktif. Kesadaran untuk
menjaganya, memelihara dan melestarikan alam penting
dengan dasar bahwa:

1. Alam merupakan bagian integral dari kehidupan
masyarakat yang senantiasa melakukan respons terhadap
setiap sikap dan prilaku masyarakatnya. Alam bukanlah
suatu unsur kehidupan masyarakat yang bersikap statis
dan tidak memiliki mekanisme timbal balik terhadap
setiap perlakuan yang diterimanya.

Alam layaknya seperti komunitas sosial (sebagai suatu
eko-sistem yang saling berhubungan seperti layaknya
sebuah masyarakat) yang memiliki daya pertahanan diri
(self defensive) terhadap setiap perlakukan negatif
dan mengancam dari lingkungan sosial manusia yang
menempatinya. Demikian juga alam memiliki mekanisme
pelayanan dan reward terhadap setiap perlakukan
positif dari lingkungan sosial yang menempatinya. Alam
seolah-olah memiliki jiwa (bukan sekedar daya hidup
yang mekanis alamiah). Seperti api dan juga air, ia
merupakan sahabat terdekat manusia dalam kehidupannya,
akan tetapi ia bisa juga menjadi musuh yang senantiasa
mengancam jiwanya bila manusia salah dalam menyikapi
dan memperlakukannya.

Suatu paradigma yang dimiliki oleh pada umumnya
masyarakat tradisional di mana pun di seluruh dunia,
yang membuat masyarakat senantiasa bersikap ‘arif dan
“etis” terhadap alam sekitarnya. Paradigma yang telah
melahirkan sejumlah ke’arifan lokal dalam setiap
masyarakat tradisonal.

2. Ancaman bencana bukan hanya (tidak selalu)
merupakan mekanis alami’ah yang terlepas dari prilaku
manusia terhadap alam (dalam bahasa agama sebagai
“kehendak Tuhan”), akan tetapi merupakan timbal balik
dari perlakukan manusia terhadap alam. Dengan
demikian, ancaman bencana sebenarnya bisa dihindari
apabila masyarakat sejak awal selalu berlaku ‘arif
terhadap lingkungan alamnya.

3. Berdasarkan konteks dan paradigma inilah sebenarnya
“Bersahabat dengan Ancaman” bisa dirumuskan. Sehingga,
konsep Bersahabat dengan Ancaman tidak lagi dipahami
sebagai sikap putus asa dalam menghadapi
ketidakpedulian masyarakat dan negara terhadap
sejumkah kemungkinan terjadinya ancaman bencana.
Melainkan, sebagai sikap yang muncil dari kesadaran
yang integral dan mendalam terhadap kesatuan
manusia-alam. Dengan demikian, “Bersahabat dengan
Ancaman” merupakan kelanjutan dari “”Bersahabat dengan
Alam”. Kita tidak mungkin “Bersahabat dengan Ancaman”
apabila kita tidak bersahabat dengan Alam.

2. Masyarat dan Bencana

Terminologi bencana memang sangat bersifat “manusia”.
Maksudnya, terhadap sebuah peristiwa dalam hal ini
peristiwa yang berlangsung pada alam, manusia
memberikan nilai berdasarkan akibat yang
didapatkannya. Dan ketika peristiwa alam itu merugikan
manusia, disebutnya sebagai bencana (menguntungkan
atau merugikan).

Pada awalnya, ketika peran manusia dalam
“mengendalikan” atau merekayasa kejadian alam masih
sangat kecil atau hampir tidak ada, manusia cenderung
untuk mengatakan bahwa apa pun yang terjadi dengan
alam dan apa pun yang manusia terima sebagai akibat
dari peristiwa alam itu, manusia cenderung bersifat
pasrah. Kalau pun manusia melakukan sejumlah upaya
untuk menghindari bencana-bencana itu, upayanya tidak
secara langsung menyentuh peristiwa bencana itu
sendiri, melainkan pada sesuatu yang diyakininya
sebagai sumber (pembuat) bencana yang bersiafat supra
natural. Hal tersebut, sebenarnya sanagt diba
dimengerti, selain karena pengetahuan manusia tentang
peristiwa-peristiwa alamiah masih sangat sederhana,
tetapi juga karena manusia merasa tidak melakukan
sesuatu dengan alam yang bisa mengakibatkan terjadinya
“bencana”. Sekuat-kuatnya manusia, sulit untuk
dimengerti bila ia sanggup menimbulkan terjadinya
gunung meletus, longsor atau peristiwa alaman lainnya.

Oleh karena itu, manusia menduga-duga bahwa sejumlah
bencana itu sebagai balasan terhadap prilaku moral
yang dilakukan manusia yang tidak berkenan dengan
sesuatu yang “menguasai” peristiwa-peristiwa alam.
Alam dipersonifikasi sebagai sosok “hidup” yang
memiliki karakter dan kepribadian sebagaimana halnya
manusia: punya perasaan, emosi dan lain sebagainya.
Ketika manusia bersikap “‘arif” terhadap sesamannya
dan juga terhadap alamnya, serta mengatur kehidupanya
berdasarkan norma-norma tertentu, mereka akan
menemukan kehidupannya yang lebih baik. Maka ketika
hasil berburu atau bercocok tanam mereka bagus, itu
disikapi sebagai “sabda” bahwa manusia telah dengan
baik menjaga norma dan moralitasnya. Dan sebaliknya,
mereka melihat bahwa bencana alam merupakan “sabda”
yang mengabarkan adanya penyelewengan dan pelanggaraan
terhadap norma-norma tersebut. Oleh karena itu,
penyelesaian terhadap masalah bencana, baik pasca
bencana maupun antisifasi terhadap kemungkinan
terjadinya bencana cenderung bersifat “moral” dan
ritual, bukan aktivitas “teknis”.
Berbeda dengan manusia modern, ketika keterlibatan
manusia dalam peristiwa alam semakin besar, maka
perspektif manusia terhadap bencana pun berubah.
Bencana tidak lagi dihubungkan dengan prilaku moral
manusia yang menyinggung sesuatu yang “menguasai”
peristiwa di balik bencana, melainkan sebagai fenomena
alam yang bersifat murnai. Dan, hubungan manusia
dengan peristiwa alam adalah hubungan kausal sebagai
akibat manusia melakukan rekayasa dan ekplorasi
terhadap alam. Secara umum, alam selalu berada dalam
kondisi “stabil”, dan ketika stabilitasnya berubah dan
terganggu, alam secara alamiah akan melakukan proses
stabilisasi untuk mengembalikan kondisinya ke kondisi
awal. Dalam kasus inilah, biasanya bencana itu dialami
manusia. Dan itu terjadi, karena kontrol dan
eksplorasi manusia tehadap alam tidak (kurang)
disertai dengan upaya-upaya yang berimbang dengan
proses pengendalian untuk selalu mengupayakan proses
ekplorasi tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan
stabilitas alam. Sebagai contoh sederhana, menebang
sebatang pohon diikuti dengan menanam sebatang pohon
yang sama. Hal yang bisa saja kita sebut sebagai
moralitas alamiah atau ke’arifan alamiah. Ke’arifan
dan moralitas yang sebenarnya telah dimiliki oleh
masyarakat tradisional yang tentunya didasarkan pada
paradigma yang berbeda, akan tetapi prilaku
“teknisnya” kurang lebih sama.
Dalam konteks inilah, dalam era modern, bencana dapat
dibagi dua. Pertama bencana alam murni ang merupakan
mekanisme global alam dalam proses equilibriumnya,
yaitu proses alamiah alam dalam mengembalikan
keadaannya ke keadaan stabil. Dan kedua, bencana
sebagai akibat dari proses rekayasa dan eksploitasi
alam yang dilakukan manusia yang tidak diimbangi oleh
pertimbangan-pertimbangan dan upaya proses
mengembalikan keadaan alam dalam kondisi stabilnya.
Manusia “modern” sedemikian dekat dengan alam, akan
tetapi tidak pernah bisa disebut bersahabat. Kedekatan
yang bersifat eksploitatif.

Biaya dan upaya untuk mengembalikan kondisi alam ke
keadaan stabil memang lebih mahal, karena cenderung
dilakukan secara acak dan tidak sistematis. Lebih dari
itu, mahal karena harus dibayar dengan keadaran moral
dan mentalitas ekologis. Sementara eksploitasi
dilakukan secara terencana dan sistematis untuk
mendapatkan hasil yang banyak-banyaknya. Eksploitisi
dianggap lebih menjanjikan kesekahteraan material,
sementara memperbaikinya harus menyisihkan sebagaian
dari kesejehteraan material tersebut. Jarang yang
secara moral memiliki kesadaran bahwa perbaikan
lingkungan alam justru akan memperpanjang kemungkinan
bagi terjaminnya kesejahteraan material tersebut.
Alam, Ancaman Bencana dalam Wacana Pendidikan di
Indonesia

Sejak SD kita kita telah dibekali pengetahuan tentang
ilmu bumi, berkenaan dengan pengetahuan mekanisme
alami’ah tentang apa yang terjadi dibelahan bawah
tanah, permukaan tanah bahkan apa yang terjadi di
kawasan atmosfir bumi kita. Dulu waktu SD pula saya
sering mengikuti kegiatan “Rak Gantang” (penghijauan
di hutan terdekat sekitar sekolah ), baik sebagai
kegiatan kepramukaan maupun kegiatan yang
dikoordinasikan oleh pemerintah daerah yang melibatkan
sekolah-sekolah.
Bila kegiatan pramuka mengadakan acara camping
(Persami internal sekolah atau camping gabungan dengan
pramuka sekolah lain) selalu ada kegiatan penghijauan
atau paling tidak membersihkan lingkungan hutan dalam
diameter tertentu dari lingkungan sekitar tempat
berkemah. Dan itu senantiasa dijelaskan oleh guru
pembimbing kepramukaan tentang mengapa kita melakukan
kegiatan penghijauan dan membersihkan lingkungan hutan
dalam hubungannya dengan pengetahuan kita tentang ilmu
alam yang diajarkan di bangku sekolah. Tentang
tanggungjawab kita terhadap lingkungan sekitar serta
akibatnya bila kita tidak peduli dengan lingkungan
alam.

Dengan demikian, paling tidak secara teoritis, dunia
pendidikan sama sekali tidak bisa dianggap tidak
memperkenalkan persoalan alam, bencana dan hal-hal
yang berkenaan dengannya. Harus diakui memang bahwa
pengetahuan “teknis” tentang bagaimana menghadapi
ancaman bencana merupakan hal yang baru dalam dunia
pendidikan di Indoensia. Sedangkan (di sisilain)
gerakan untuk mencintai dan secara proaktif dalam
melindungi dan melestarikan lingkungan alam dan
gerakan penghijauan dan melindungi hutan masih
bersifat pasif dan atau menunggu sabda dan program
dari pemerintah. Hal ini bisa dipahami, karena peran
dan “campur tangan” pemerintah dalam dunia pendidikan
masih sangat kuat, sehingga menumbuh-suburkan sikap
“tak kratif dan proaktif” dunia pendidikan terhadap
persoalan-persoalan di luar benteng sekolah.

CATATAN DAN ULASAN TERHADAP BUKU
“Bersahabat dengan Ancaman”

Catatan dan Ulasan Pertama; Latar Belakang dan Walayah
Bahasan Buku.

Bersahabat dengan Ancaman, bagi tatapikir awam, judul
buku ini yang benar-benar propokarif, bahkan cenderung
tak berkonteks. Betapa tidak? Siapa yang begitu berani
mau bersahabat dengan ancaman, apa lagi kalau ancaman
itu adalah sesuatu yang mengancam jiwanya, atau
sesuatu yang dicintainya. Orang cenderung untuk
berpikir bagaimana menghindari ancaman, dan bukannya
bersahabat. WALHI dalam buku itu, yang diwakili oleh
Chalid Muhammad sebagai Direktur Eksekutif Nasional
WALHI, dalam tulisan Seuntai Kata-nya sebagai
pengantar dari team penulis (?) menjelaskan :

“Buku ini adalah salah satu bagian dari upaya WALHI
untuk menguatkan masyarakat, khususnya anak-anak
(dalam, penulis) menghadapi anacaman bencana. Berkawan
dengan ancaman, bersiasat menurangi resiko bencana
memiliki makna: Ancaman bencana harus dipamahi dengan
sungguh-sungguh agar kita lebi waspada dan lebih siap.
Waspada dan siap ketika bahaya datang mengancam.
Anak-anak lebih siap apa yang harus dilakukan, ke mana
harus menyelamatkan diri, bertahan hidup atau
mendapatkan bantuan”.

Secara ringkas, dikatakan “Bersahabat dengan Ancaman,
merupakan panduan bagaimana kita bersikap atas ancaman
bencana”.

Dengan argumen dan penjelasan tersebut, WALHI
tampaknya menawarkan paradigma baru dalam menghadapi
ancaman (dalam hal ini ancaman bencana alam, atau
bencana yang disebabkan oleh kondisi alam tertentu).
Dalam Bab Pendahuluan dari buku “Bersahabat dengan
Alam” (selanjutnya disebut BDA) seri Buku Panduan
Pendidikan Pengelola Bencana untuk Anak Usia Sekolah
Dasar , terdapat sub bab dengan judul “Mungkinkah
Indonesia Selamat Melewati Bencana?”. Dalam sum bab
tersebut disebutkan bahwa secara geologis Indonesia
merupakan wilayah yang berada dalam Pacific Ring of
Fire yang membawa berekah sekaligus musibah. Saya
lebih sreg untuk menyebutnya sebagai surga bencana
(Negeri Bencana, dalam “Bersahabat dengan Alam” seri
Buku Bacaan Murid……”, halaman 5). Membawa berekah
karena Indonesia menjadi negara yang subur dan kaya
mineral, tetapi juga menjadi sarang musibah karena
posisi tersebut menciptakan serangkaian gunung api
yang sewaktu-waktu bisa meletus menimbulkan gempa dan
sewaktu-waktu bisa menyemburkan isi perut bumi (lahar
dan lapa). Bangsa Indonesia tidak mungkin bersama-sama
mengungsi dari negara ini. Selanjutnya, dalam buki ini
disebutkan, “Bagi bangsa Indoenesia tidak ada pilihan
untuk selamat selain harus mampu mengelola berekah dan
(mengelola?)musibah dari bencana. Kemampuan mengelola
bencana adalah prasyarat penting terjaminnya
kelangsungan hidup Bangsa dan Negara Indonesia.”
Bila kita menilik dengan seksama dalam Bab MENGELOLA
BENCANA DALAM Sub Bab Bencana di Indonesia, kita akan
melihat bahwa bencana yang diakibatkan oleh posisi
Indonesia yang berada pada Pacific Ring of Fire ada
tiga jenis bencana (bila saya tidak salah duga),
yaitu: Gunung Meletus, Gempa Bumi, dan Tsunami ; dan
tujuh yang lainnya kurang lebih tidak berhubungan
langsung dengan posisi tersebut, bahkan ada yang tidak
berhubungan sama sekali.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengomentari materi
(tulisan) tentang segala aspek berkenaan dengan
bagaimana suatu bencana terjadi dan sejumlah istilah
teknis (teknis disiplin ilmiah) berkenaan dengan hal
itu, karena saya sama sekali buta, tidak memiliki
pengalaman dan bukan ahlinya dalam bidang itu.
Aspek-aspek yang akan saya komentari hanyalah dari
sisi konsistensi dari entri buka serta sejumlah hal
yang berkenaan dengan pengetahuan yang bersifat umum
berkenaan dengan tema yang sedang kita bicarakan, yang
saya yakin semua orang mengetahuinya, walau hanya
sedikit.

I

Bila kita simak, sejak awal buku ini didasarkan pada
asumsi-asumsi tentang bencana alam “murni” yang
terjadi sama sekali di luar “campur tangan” manusia,
seperti gempa bumi dan Tsunami yang disebabkan oleh
aktivitas kulit bumi, serta bencana yang disebabkan
oleh Letusan Gunung Berapi. Hal ini pun dapat dilihat
dari tema “Tsunami di Aceh” selalu menjadi dasar untuk
menyadarkan pembaca tentang pentingnya pengelolaan
bencana. Dan juga, berkenaan dengan posisi indonesia
yang berada dalam Pacific Ring of Fire. Tapi kemudian,
temanya mengembang pada bencana-bencana lain termasuk
pada bencana yang sama sekali tidak bisa disebut
sebagai bencana alam seperti konflik sosial, penyakit,
hama , dlsb. Keberadaan bencana lain selain bencana
alam (murni) baru dijelaskan kemudian dalam Bab
tentang “Bencana di Indoensia”, tidak disinggung dalam
Bab Pendahuluan, sebagai bagian tulian awal yang
menjelaskan inti dan latar belakang isi buku tersebut.

Secara lebih spesifik, pembagian bencana (di
Indonesia) dalam dua kategori (bencana karena alam dan
manusia) ada di Buku Bacaan untuk Murid (halaman 30).
Pengembangan tema tersebut bukan salah bahkan sama
sekali bukan salah. Karena, semuanya memang terjadi di
Indonesia. Mungkin kita malah perlu bertanya, adakah
bencana di negara-negara lain yang tidak (belum)
terjadi di Indonesia, kecuali bencana yang disebabkan
bom Atom dan badai salju atau badai gurun?
Persoalannya (berkenaan dengan buku ini) adalah
berkenaan dengan daya serap anak didik (murid) SD
untuk memahami dan kesanggupan mereka untuk membaca
buku yang demikian kaya dengan istilah-istilah teknis
ilmiah, sementara mata pelajaran beserta buku-buku
matapelajaran lainnya yang kini ada sudah cukup
membuat mereka lupa untuk bernapas. Karena memang,
kurikulum sekolah di kita memang dikenal dengan
banyaknya jumlah mata pelajaran, baik dari sekolah
dasar hingga perguruan tinggi, yang menuntut siswa dan
mahasiswanya untuk serba bisa, atau malah tak bisa
apa-apa.

II

Ungkapan “Bagi bangsa Indoenesia tidak ada pilihan
untuk selamat selain harus mampu mengelola berekah dan
musibah dari bencana. Kemampuan mengelola bencana
adalah prasyarat penting terjaminnya kelangsungan
hidup Bangsa dan Negara Indonesia” , bagi saya
merupakan ungkapan yang menurut saya sangat aneh
apabila kalimat ini merupakan kalimat yang monolit dan
terpisah bahkan terlupakan dari “kemampuan mengelola
alam”.
Seperti saya sampaikan pada tulisan Pendauluan tulisan
ini, bahwa bencana lebih banyak merupakan respons dari
alam terhadap perlakuan manusia terhadap alam itu
sendiri. Apabila masyarakat tradisional telah
menyadari hal itu, sulit dipahami apabila masyarakat
modern dengan kemodernan berpikir dan metodologi
ilmi’ahnya begitu sulit untuk menerima dan memahami
kenyataan terebut. Terlebih masyarakat Indoensia yang
mayoritas Islam, yang dengan tegas al-Qur’an
menyebutkan bahwa bencana (kerusakan di muka bumi) ini
tak lebih tak kurang disebabkan oleh tangan-tangan
manusia itu sendiri. Apa yang diungkap oleh al-Qur’an
ini merupakan suatu ekspresi ke’arifan yang akrab dan
lebih banyak melayang-layang dalam pikiran dan
keyakinan religius belaka, akan tetapi sangat asing
dalam wujud kehidupan riil umat Islam.

Catatan dan Ulasan Kedua; Kearifan Lokal yang
berhubungan dengan Bencana.

Fenomena terselamatkannya sebagian besar masyarakat
Simeulue dari bencana Tsunami di Aceh pada tahun 2005
lalu telah mengangkat eksistensi tradisi dan
“ke’arifan lokal”. Yaitu tradisi masayarakt Simeulue
ketika ada gempa besar untuk segera pergi/lari ke
gunung atau tepat yang tinggi sambil meneriakkan
“smong!”. Bentuk ke’arifan lokal yang relatif mudah
dimengerti dan dipahami, terutama dalam hubungannya
dengan kondisi masyarakat Simeulue yang berada di
sebuah pulau dan lingkungi oleh lautan yang sangat
dekat dengan tempat di mana maysrakat berada. Setiap
gempa besar cenderung mengakibatkan aktivitas laut
(ombak) menjadi besar dan menyapi daratan sekitar
pantai, sehingga jalan keluar satu-satunya adalh lari
ke tempat yang lebih tinggi, “Smong!”.

Pada hampir semua masyarakat tradisional, khususnya di
Indonesia, dikenal upacara dan mantera untuk
menghindarkan atau menjaga terjadinya “bencana”, tulak
bala (tolak bala). Selain itu terdapat juga sejumlah
kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang
katakanlah “berbau” mitologis. Mitos-mitos tersebut
tersebut hanya bisa “digunakan” atau menjadi indikasi
bahwa bencana alam tertentu memang sudah dikenal dan
biasa terjadi di daerah tersebut, akan tetapi sulit
dipastikan “jamnian ilmiahnya”. Kanapa hal itu menjadi
penting, karena buku ini memang diperuntukkan bagi
siswa di sekolah yang paradigma pengajarannya tentunya
didasarkan pada upaya untuk mengajarjan dan mendidik
anak-anak untuk berpikir rasional dan ilmi’ah. Sulit
dibayangkan bagaimana Guru mata pelajaran ini
(Bersahabat dengan Ancaman, Bencana) harus menjelaskan
hubungan ilmiah dan rasional antara terjadinya bencana
dengan cerita-cerita mitologis yang dikenal dalam
masyarakat. Sebagai contoh, bagaimana menjelaskan
keberadaan “Paku Bumi” dalam mitos yang hidup pada
masyarakat di Lereng Gunung Slamet. Atau hubungan
antara awan yang berbentuk garis di Yogyakarta dengan
gempa bumi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain,
harus dilakukan pengkajian yang seksama tentang
ke’arifan lokal yang berhungan dengan fenomena bencana
ini bila akan dijadikan “materi pelajaran” di sekolah,
khususnya bagi siswa tingkat sekolah dasar.
Bila kita simak ketiga buku “Bersahabat dengn Ancaman”
sangat miskin dalam menjelaskan tema tentang ke’arifan
lokal ini, sehingga akan menyulitkan guru pengajar
dalam menjelaskannya kepada anak didiknya. Alih-alih
menambah kejelasan bagi anak didiknya malah
membingunkan dan menyulitkan mereka. Bukan mustahil,
malah guru pengajarnya pun mengalami hal yang kurang
lebih sama dengan muridnya.

Fenomena dari tradisi “Nga linon fesang smong” pada
masyarakat Simeulue tampaknya merupakan tradisi yang
tidak terlalu berhubungan dengan unsur kepercayaan
yang berbau “mitik”, berbeda dengan tradisi
kepercayaan “Paku Bumi” pada masyarakat Lereng Gunung
Slamet Yogyakarta yang sarat dengan nuansa mitik, atau
tradisi kepercayaan sejenis pada masyarakat lainnya.
Reasoning atau penjelasan untuk kedua jenis tradisi
tersebut bisa berbeda sifatnya, yang pertama berbau
“teknis-pragmatis” sedang yang kedua lebih bersifat
simbolik-mitologis.

Catatan dan Ulasan Ketiga; Bencana dan Pelestarian
Alam.

Menyimak kembali Judul buku tersebut: Bersahabat
dengan Ancaman, saya merasa perlu untuk menambahkan
sebuah tanda tanya di akhir judul buku itu (di dalam
kurung, ?). Pernyataan ini tentunya bukan untuk
kemudian dianggap sebagai anjuran atau saran untuk
benar-benar menambahkan tanda tanya pada judul
tersebut; melainkan tanda tanya yang diletakkan dalam
benak saya, atau benak semua orang yang membacanya.

Kenapa tanda tanya itu tiba-tiba muncul dalam benak
saya?

Pertama; Judul tersebut menyiratkan bahwa bangsa kita
adalah bangsa yang awam terhadap ancaman (dari adanya
bencana), atau seolah-olah bangsa kita tidak pernah
mengenal kata ancaman bencana dan mengalami bencana,
khususnya ancaman “bencana alam murni”.

Apakah kita (bangsa Indoensia pada umumnya) sedemikian
awam dengan ancaman-ancaman dalam kehidupannya?
Terutama ancaman dari lingkungan alamnya. Padahal di
Indonesia umumnya, dan di Jawa Barat khususnya bukan
hal yang baru dalam hal menghadapi bencana, dan telah
banyak memakan korban (baik jiwa, maupun harta); baik
yang dipublikasikan maupun tidak. Dalam “bawah sadar”
pemahaman teologis mereka, telah terpatri bahwa
kematian dan kerugian yang disebabkan bencana alam
bukanlah sesuatu yang perlu disasalkan, karena hal itu
merupakan salah satu dari kuasa Ilahi yang tidak bisa
dihindari.

Kedua, sejumlah tradisi, mitos, ritual dan acara-acara
seni tradisi yang digelar dan diselenggarakan oleh
masyarakat Sunda (dan masyarakat mana pun di
Indonesia) tidak sedikit berhubungan dengan bagaimana
cara menolak bala (bencana), dan memperkirakan
(Sunda=Uga) tentang akan terjadinya bencana, serta
isyarat tentang sebab tertentu yang akan mengakibatkan
terjadinya bencana, baik dalam bentuk bencana alam,
maupun penyakit, bahkan juga termasuk bencana yang
disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya supranatural.

Ketiga, kalau kita melihat sejumlah komunitas
masyarakat tradisi di Jawa Barat, kita akan melihat
penataan kampung yang memiliki dasar pertimbangan
pelestarian lingkungan dan menghindari terjadinya
bencana.

Keempat, sangat bernuansa pesimisme. Pembudayaan dan
upaya pelestarian lingkungan hidup dengan berbagai
cara seolah-olah seperti upaya mendirikan benang
basah, ngudag kalangkang heulang. Maka muncullah upaya
yang sistematis untuk mensosialisasikan gerakan
sosialisasi mitigasi (meminimalkan dampak bencana
terhadap kehidupan manusia), program penanggulangan
bencana dan penanganan pasca bencana. Sikap pesimis
ini tampak pada kesadaran akan bencana tidak seimbang
dengan gerakan pelestarian lingkungan hidup
(Bersahabat dengan Alam).
Bersahabat dengan Alam (lingkungan Hidup) kini
merupakan wacana (dan kata-kata) yang demikian akrab
dalam masyarakat kita (baik kalain umum maupun
terbatas), akan tetapi tidak demikian dengan
aktualisasinya dalam kehidupan seharai-hari masyarakat
kita, Indonesia. Persitiwa Tsunami dan atau peristiwa
letusan gunung Krakatau adalah sebuah kasus spesifik
yang menimbulkan kerugian harta dan korban jiwa yang
sangat besar dan wajarlah bila menjadi perhatian besar
baik dari masyarakat bangsa Inodensia sendiri, maupun
dari dunia. Akan tetapi, ancaman dari bencana bencana
lain yang terjadi akibat tangan-tangan manusia kurang
mendapat perhatian secara “serius”, kecuali ancaman
bencana “terosisme”. Ancaman bencana kebakaran hutan,
longsor dan banjir yang diakibatkan oleh gunung yang
gundul sebagai konsekwensi dari “penebangan liar” atau
pun legal tapi brutal. Hal yang bukan mustahil menjadi
penyebab munculnya berbagai penyakit, termasuk di
dalamnya penyakit sosial, hama, kelaparan, dlsb.
Pemanasan global, adalah fenomena yang paling nyata
dari akibat rusaknya hutan ini, yang kini menjadi
perhatian dunia, akan tetapi di Indonesia hanya
menjadi wacana dan obrolan sambil lalu (NATO, No
Actions Talk Only).

Katakanlah, gunung meletus, tsunami, gempa bumi dan
bencana sejenis tidak bisa ditangglangi dengan gerakan
“Bersahabat dengan Alam”, namun paling tidak bisa
menguranngi kuantitas dan kualitas bencana lainnya
yang kejadiannya disebabkan oleh “tangan-tangan
manusia”.

KESIMPULAN:

1. Sosialisasi “Bersahabat dengan Ancaman” harus
merupakan kelanjutan dari “Bersahabat dengan Alam”,
demikian juga dengan buku yang sedang kita bicarakan
ini. Karena bukankah menjadikan alam dan masyarakat
sebagai sahabat lebih nyaman dari pada menyikapinya
sebagai ancaan. Lebih dari itu, sekap bersahabat
dengan alam paling tidak akan mengurangi (kalu tidak
bisa menghilangkan) ancaman bencana alam dan sosial.
Demikian juga, ancaman bencana alam lebih banyak
karena sikap tidak bersahabat masyarakat terhadap
lingkungan alamnya.

2. Nilai penting membangun kesadaran tentang Alam dan
ancaman bencana kini benar-benar sangat mendesak untuk
segera lakukan dengan bebagai cara yang relevan,
termasuk dalam hal ini menjadikan salah satu kurikulum
di sekolah dasar dan menengah.

3. Pengenalan (pelajaran) tentang alam dan segala
sesuatu yang berkenaan dengannya (melestarikan,
melindungi alam, serta ancaman dan menghadapi ancaman)
perlu diberikan pada anak didik baik sebagai bagian
dari intra kurikuler maupun ekstra kurikuler, baik
secara teoritis (kmampuan cognitive) maupun praktek di
lapangan (psikomotorik) dan lebih dari itu juga upaya
mempertajam kepedulian sosial anak didik terhadap
penderitaan antar sesama anggota masyarakat lingkungan
terdekat dan dunia.

4. Materi (informasi, deskripsi dan cerita), metode
penulisan, grafik dan gambar buku harus benar-benar
dikaji disesuaikan dengan rata-rata kemampuan anak
didik di Indonesia (tidak didasarkan sekolah yang
memiliki kualifikasi plus) serta berdasarkan jenjang
sekolahnya.
_______________
Disampaikan pada Bedah Buku “Bersahabat dengan
Ancaman”, yang diadakan oleh WALHI (Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia), di GedungPLB Dinas Pendidikan
Provinsi Jawa Barat Jl. DR. Rajiman No. 6; , pada
tanggal 6 Pebruari 2008.

Penulis: Dosen Filsafat dan Teologi Modern di Jurusan
Aqidah Filsafat UIN Bandung; Kepala Pusat Informasi
dan Komputer UIN Bandung; Ketua Divisi Hasan Mustapa
Society pada Yayasan Pasamoan SoPhia Bandung; Dewan
Pakar Kampung Seni Manglayang Bandung Timur.

http://g13b.situsgd.web.id/2008/04/06/bersahabat-dengan-alam-bersahabat-dengan-ancaman/

Tinggalkan komentar