Archive for Lain-lain

Paket Pendidikan “Program Kesiapan Sekolah terhadap Bahaya Gempa “

Pusat Mitigasi Bencana – Institut Teknologi Bandung
(PMB-ITB) telah membuat paket pendidikan “Program
Kesiapan Sekolah terhadap Bahaya Gempa” pada tahun
2000. Paket ini terdiri dari tiga buku dengan target
utamanya adalah guru dan siswa sekolah dasar. Fokus
utama paket pendidikan ini adalah kesiapan menghadapi
bahaya gempa bumi, namun prinsip-prinsip yang dimuat
dalam manual ini dapat juga diterapkan dalam
menghadapi bencana alam lainnya seperti banjir,
tsunami, kebakaran, dan lain-lain.

Paket pendidikan ini bisa mendukung program Kecakapan
Hidup, sebuah program yang bertujuan untuk memberikan
pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada siswa agar
mampu mengatasi masalah secara efektif.
Sekolah-sekolah Indonesia diharapkan mampu memberikan
keterampilan bagi siswa untuk mengamankan dirinya pada
saat bencana serta mampu menciptakan lingkungan
belajar yang aman dan nyaman.

Buku 1: Buku Pengayaan Guru

Buku ini disusun untuk digunakan oleh Guru/Kepala
Sekolah dan instruktur Pusat Pelatihan Guru (PPG)
sebagai acuan  untuk dua buku lainnya. Materi dalam
buku ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan
tentang gempa bumi dan dampaknya pada bangunan,
fasilitas sekolah dan lingkungan, yang dilengkapi
dengan wacana tentang kesiapan mengantisipasi bahaya
gempa bumi. Buku ini membantu guru memotivasi siswa
dalam praktek kegiatan melatih kesiapsiagaan bencana
dalam suasana yang menarik, menyenangkan dan dinamis.

Buku 2 : Bahan Ajar Guru

Materi dalam buku ini dirancang untuk siswa kelas 4
sampai kelas 6 sekolah dasar dalam suasana yang
menarik dan menyenangkan lewat latihan dan simulasi.
Materi-materi meliputi: pengenalan bahaya gempa;
identifikasi kerentanan dan kapasitas; risiko bencana
gempa; pengaruh gempa pada bangunan; tindakan
pengamanan; pengenalan pengaruh gempa pada orang,
benda, dan prasarana kota; mengatasi perasaan negatif
pasca gempa; pengenalan tindakan penyelamatan;
persiapan menghadapi gempa; penanganan risiko gempa;
dan evaluasi program.

Buku 3 : Lembar Kerja Siswa

Buku panduan yang membantu guru mengajarkan siswa
tentang bahaya gempa. Materi LKS dirancang dalam
suasana yang menarik dan menyenangkan dalam bentuk
latihan, simulasi dan bermain peran.  Materi buku ini
dikembangkan berdasarkan masukan dari beberapa negara
lain yang juga rawan terhadap bahaya gempa seperti
Amerika Serikat, Jepang, Iran, India dan Nepal.

Untuk memperkuat upaya kesiapan kelompok sekolah
dalam menghadapi bencana alam, Kantor UNESCO Jakarta
dan PMB ITB dengan dukungan dari UN/ISDR, telah
mencetak ulang paket pendidikan ini untuk
didistribusikan kepada mereka yang punya minat dalam
meningkatkan pengetahuan dan kesiapsiagaan menghadapi
bencana gempa kepada kelompok sekolah dasar, khususnya
kepada guru dan siswa sekolah serta lembaga-lembaga
yang bekerja di bidang pengurangan risiko bencana.

Paket pendidikan ini hanya tersedia dalam Bahasa
Indonesia dalam jumlah yang sangat terbatas. Untuk
mendapatkan paket ini, silakan hubungi:

Kantor UNESCO Jakarta
Jl. Galuh II No. 5, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Telp. (62-21) 739 9818
Fax. (62-21) 7279 6489

http://www.jtic.org/ind/jtic/index.php?option=com_content&task=view&id=321&Itemid=130

Leave a comment »

Pentingnya Komunikasi Bencana Alam

 

Upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka hot-line  telepon 24 jam dengan gubernur di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam, perlu mendapat apresiasi. Langkah itu sangat tepat, karena kemudahan akses komunikasi antara pusat dan daerah pasca otonomi daerah (otoda) merupakan faktor yang sangat penting bagi kelancaran proses pelaporan dan koordinasi, sehingga penanganan bencana di daerah dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat.

Pasca otoda, daerah memang memiliki hak untuk mengatur kewenangan atas kemauan dan prakarsa sendiri, termasuk mengatur penanggulangan bencana alam. Daerah berhak membentuk tim penanggulangan sendiri, dengan pola kerja yang  ditetapkan oleh masing-masing pemda. Pemda pada umumnya sudah memiliki lembaga semacam Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA), serta tim penolong seperti Search and Resque (SAR), Palang Merah Indonesia (PMI) dan para relawan yang akan bekerja sama mengevakuasi dan menyelamatkan para korban saat terjadi bencana alam.

Jika bencana alam yang terjadi tergolong berskala kecil, dalam arti kerusakan yang terjadi tidak begitu parah dan hanya sedikit–atau tidak–memakan korban jiwa, pemda dengan bantuan berbagai lembaga dan para relawan biasanya sanggup mengatasi sendiri. Namun jika bencana alam yang terjadi berskala besar–seperti tsunami di NAD dan Sumut, banjir di Jember dan longsor di Banjarnegara–keterlibatan pemerintah pusat mutlak diperlukan.

Masalahnya adalah kadang-kadang jalur komunikasi bencana alam antara pusat dan daerah kurang lancar karena adanya berbagai hambatan baik itu hambatan geografis, teknis maupun fisik. Lebih-lebih di daerah bencana pada umumnya jaringan komunikasi ikut rusak, sehingga hubungan dan koordinasi antar lembaga menjadi kurang baik. Laporan ke pusat juga relatif kurang lancar, sehingga sering terlambat dan substansinya berbeda jauh dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan.

Kurang validnya laporan membuat data tentang bencana itu sendiri, wilayah yang tertimpa bencana, korban, maupun akibat yang terjadi, menjadi simpang siur. Akibatnya, penanganan pasca bencana tidak bisa tepat waktu dan tepat sasaran. Padahal semakin lama korban bencana berada dalam situasi krisis tanpa bantuan  memadai, keadaan mereka akan semakin buruk. Bahkan tak jarang, keterlambatan penanganan membuat korban–terutama yang mengalami trauma fisik berat–tak bisa diselamatkan jiwanya.

Kita tentu masih ingat bencana tsunami di NAD dan Nias yang menelan banyak korban akibat peringatan dininya belum tersedia. Atau kasus rawan pangan di Yahukimo yang baru “diketahui” setelah beberapa saat lamanya. Semua itu terjadi karena belum tersedianya saluran komunikasi bencana alam yang memadai.

Karena itu jalur telepon hotline 24 jam antara gubernur dan presiden diharapkan akan menjadi jembatan komunikasi yang tepat untuk menghindari keterlambatan penanganan

bencana. Short cut  akses langsung ke presiden akan memotong jalur birokrasi yang terkadang memakan banyak waktu. Harus diakui, ini merupakan langkah maju dalam manajemen komunikasi penanganan bencana alam yang selalu dilaksanakan dalam situasi tanggap-darurat. Dengan akses langsung tersebut, presiden dapat segera mengambil keputusan untuk mengkoordinasikan tindakan terkait dengan penanganan bencana alam yang akan, sedang maupun telah terjadi di daerah.

Namun jalinan komunikasi bencana alam yang baik tentu bukan hanya antara pemerintah pusat dan daerah saja. Pemda juga perlu mengefektifkan saluran komunikasi bencana intra maupun antar RT/RW, desa, kecamatan, kabupaten/kota hingga ke provinsi. Melalui jalinan komunikasi ini, peringatan dini bencana alam dapat segera disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga korban jiwa dan harta benda dapat diminimalisasi. Laporan terjadinya bencana, wilayah yang tertimpa dan jumlah korban, juga bisa dilakukan dalam waktu singkat ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi untuk segera mendapatkan penanganan dan penanggulangan sebagaimana mestinya.

[www.ina.go.id]

Leave a comment »

Buddhism and Environmental Protection

Thich Tri Quang

oOo

Environmental protection is one of the urgent problems facing mankind today. That concern has been manifested in the the World Environment Day on 5 June 1996. All scientists, economists, philosophers, researchers through newspapers, television, radio, etc. analysed and were alarmed on the seious adverse impacts of toxic substances on the living environment of human, animals, and vegetation. It is ironic that man is the one who pollutes his own health, and kill the life of all beings in this Earth. The risk threatening our ecology is not minor. It leads to many mearures to prevent or minimise the pollution, of world-wide scale, including the ten important International Coventions to protect the environment.

The awareness of protecting life and living environment has been generated in recent time. However, in Buddhism, it is one of the main basic laws which was set out by the Buddha some 25 centuries ago for his students to follow.

In fact, Buddhism represents the way of compassion. The Buddha manifested a complete compassion and is respectfully seen as the compasionate protector of all beings. He taught that for those who wishes to follow his Path should pratice loving-kindness, not to harm the life of all beings – not only to protect mankind, but also to protect animals and vegetation. With his perfect wisdom, He saw all beings in the universe were equal in nature, and in this phenomenal world, lives of all human and animals were inter-related, mutually developing, ans inseparable.

However, men have seen themselves as the smartest species of all beings. They have misused and abused their power and selfishly destroyed these species of animals, those forests and mountains, natural resources, … and finally reaping the results of destroyed living environment of their own. All those damages and destructions to the ecology up to an alarming level are originated from the unwholesome and greedy mind of mankind. While the animals are seen as low-level beings, however fearsome as tigers and wolves may be, they never detroy the nature as badly as done by human. Only human who cause the most devastating destruction in the Earth.

The external environment is seriously polluted because the internal environment in the mind is seriously damaged. The bottomless greed has pushed mankind to satisfy excessive and unnecessary demands, and take them into endless competitions, leading to self-destruction and environmental damage. Contrasting to the unwholesome and greedy mind is the spirit of simple living and contentment by those who practise the Buddha’s teaching.

Living in contentment does not mean the elimination of desire of knowledge and truth, but to live in harmony with all beings and with nature. On that basis, those who understand the Buddha’s teaching will limit their selfishness, to live in harmony with nature, without harming the environment. They will see what should be explored and to what level, what should be protected for future use by the next generations and other beings. Excessive greed to possess everything for themselves, or for their own group, has make men becoming blind. They are prepared to fight, make war, causing deaths, disease, starvation, destruction of life of all species, gradually worsening the living environment. By all means, they try to maximise their profits, without being concerned of the negative impact of unplanned exploitation leading to depletion of natural resources, discharge toxics into the air, water, earth, leading to environmental pollution, destroying the ecological balance.

For thousand years, the Buddhist forest monateries have manifested a harmonious living with nature, being established in the mountains, in the forests. Tranquil life in the forest helped Buddhist practitioners to improved their inner mind, and at the same time, they also worked for the protection of animals living in the area. With loving and tolerant heart, the Buddhists live with natural vegetation, wild animals in the forest in harmony and for mutual survival. Men used oxygen partly discharged by trees, live by their shadows, and in return, men looked after the trees. Wild animals may come to eat crops planted by the temple without running the risk to be killed. The harmonious living of Buddhism is completely different from the competitive, opposing living and fighting against the nature as seen in the West and also in an increasing number of countries in the East, which tend to destruction for selfish gains.

Today, we can still see the landscape of a number of temples and meditation retreats in Japan, Thailand, Vietnam, … located in native forests, with green vegetation, clean and refreshing ponds and lakes, clean air, and a variety of species living in peace. These are locations which attract people from all directions coming to enjoy the nature, finding peace of mind, getting away from noisy and polluted places.

I think it is still not too late for all religions, all strata of the society and all nations to come together, jointly participate in the protection of the environment for all living species, based on the harmonious model which Buddhism always advocates.

Thi’ch Tri’ Qua?ng
(July 1996)

oOo

Note: Ven. Thi’ch Tri’ Qua?ng is a Buddhist monk and Chief Editor of Gia’c Ngo^. Buddhist magazine in Vietnam

ENVIRONMENTAL PROTECTION, by Thich Tri Quang (1996), translated by BINH ANSON

http://www.budsas.org/ebud/ebdha006.htm

Leave a comment »

32 titik rawan banjir

Manado — Satuan Pelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana Kota Manado, melakukan langkah antisipasi terhadap 32 titik rawan bencana banjir menyusul cuaca yang kurang bersahabat akhir-akhir ini.

Koordinator Lapangan Satlak Manado, Jopi Suoth mengatakan, Satlak terus melakukan pemantauan terhadap puluhan titik rawan bencana banjir maupun longsor yang berada dikota itu akibat kondisi cuaca yang kurang bersahabat.

“Warga yang tinggal di daerah bantaran sungai maupun perbukitan telah diimbau waspada terhadap kondisi cuaca saat ini dengan curah hujan tinggi diikuti angin kencang,” katanya seperti dikutip Antara..

Daerah rawan bencana banjir yang tersebar pada puluhan kelurahan antara lain, Kelurahan Tuminting, Mahawu, Karombasan Utara, Karombasan Selatan, Pakowa dan Tanjung Batu.

Sementara itu, daerah rawan tanah longsor diantaranya Kelurahan Sumompow, Bumi Nyiur, Batu Kota, Pakowa, Karombasan Utara, Paal 2, Teling Atas, Dendengan Dalam, Wawonasa Kapleng.

Warga yang berada di daerah rawan bencana tersebut dimintamemantau perkembangan cuaca, bila hujan terus terjadi tidak henti-hentinya, diimbau waspada dan berhati- hati untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. (siaga-bencana.com)

Leave a comment »

Pemda dikritik soal bencana

Pemerintah Indonesia menilai, tingginya korban akibat bencana alam karena pemerintah daerah kurang sigap dalam mengantisipasi bencana.

Pemerintah pusat mengaku telah memperingatkan hal ini melalui peta rawan bencana.

Namun pemerintah daerah berdalih, kelalaian masyarakat yang tidak menghiraukan imbauan agar tidak menempati daerah rawan bencana sebagai penyebabnya .

Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie mengatakan sejak tahun 2005 pemerintah telah mengeluarkan peta rawan bencana di beberapa daerah di Indonesia.

Namun, dalam diskusi mengenai penangangan bencana di Istana Wakil Presiden, Aburizal Bakrie menegaskan bahwa peta ini tidak digunakan secara maksimal oleh pemerintah daerah dalam mengantisipasi bencana alam.

Tidak mendengar

Bencana banjir dan tanah longsor akibat hujan deras terjadi di sejumlah wilayah Indonesia sejak akhir tahun yang menewaskan sedikitnya 80 orang.

Salah satu wilayah dengan jumlah korban terbesar adalah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dengan 62 korban tewas.

Dan wilayah itu memang termasuk ke dalam daerah rawan bencana dalam peta milik pemerintah pusat.

Namun, Bupati Karang Anyar Rina Iriani menyatakan warga tidak mendengarkan peringatan pemda sebelumnya.

Dalam peta yang disusun oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional ini, terdapat wilayah rawan bencana di semua provinsi Indonesia.

Penentuan kawasan rawan ini dibuat berdasarkan peta gerakan tanah dan curah hujan yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika.

 [BBCIndonesia.com/Sigit Pramono]

 

Leave a comment »

Peranan Sistem Informasi Geografis Kesehatan dalam Bencana*

Pendahuluan

Akhir-akhir ini, Indonesia berbagai bencana bertubi-tubi menimpa Indonesia. Sebelum tsunami di Aceh, berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, gunung meletus, kekeringan, gempa bumi maupun tsunami juga pernah menimpa beberapa bagian di Indonesia. Selain bencana alam, Indonesia juga langganan dengan kejadian luar biasa seperti demam berdarah, dan akhir-akhir ini, semua orang meributkan tentang polio. Jika menilik definisi bencana (disaster) menurut WHO, kita akan menemukan definisi yang menarik. Bencana dapat didefinisikan sebagai setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Hal ini mengimplikasikan bahwa KLB pun dapat dikateogrikan sebagai suatu bencana.

Upaya penganggulangan bencana secara umum meliputi 2 hal yaitu, pre-disaster dan post-disaster. Seperti kita ketahui, upaya penanggulangan post disaster akan membutuhkan biaya serta alokasi sumber daya yang sangat besar. Upaya penanggulangan ini akan semakin besar lagi apabila masyarakat dan negara tidak memiliki sistem manajemen pre disaster yang baik. Oleh karena itu saat ini digalakkan penyadaran pentingnya emergency preparedness sebagai suatu program jangka panjang yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas dan kemampuan bangsa untuk me-manage semua jenis bencana serta memulihkan keadaan pasca bencana hingga ke kondisi pengembangan berkelanjuntan.

Peran sistem informasi geografis kesehatan dalam manajemen bencana

Sistem informasi geografis merupakan penggunaan teknologi informasi untuk mengumpulkan, mengolah, dan memvisualisasikan data spatial serta data tabular lain. Penerapan pertama kali sistem informasi geografis dipelopori oleh John Snow ketika membuat peta pompa air pada saat wabah kolera pada abad 19. Semenjak era komputer dan Internet, SIG semakin populer dan terjangkau.

Perangkat lunak sistem informasi geografis tersedia secara komersial (misalnya, ArcView, MapInfo dll) maupun gratis (Epimap, dll). Pengalaman menunjukkan bahwa pengembangan sistem informasi geografis di Indonesia telah menginvestasikan cukup tinggi untuk pembelian perangkat lunak komersial. Di sisi lain, beberapa perangkat lunak gratis seperti Epimap tersedia, tetapi jarang dikupas. Selain itu, banyak yang mengungkapkan bahwa tidak semua praktisi kesehatan masyarakat harus menggunakan perangkat lunak sistem informasi geografis yang mahal, karena sebagian besar aplikasi di kesehatan masyarakat lebih banyak untuk pengembangan peta tematik.

Analisis sistem informasi geografis yang lebih canggih, seperti disease clustering, maupun disease modelling memang harus menggunakan perangkat komersial. Epi Info 3.3.2 merupakan perangkat lunak yang sangat populer untuk epidemiologi yang dilengkapi dengan modul Epimap untuk SIG. Selain itu, WHO juga memiliki Healthmap.

Sistem informasi geografis memiliki peran penting dalam siklus manajemen bencana, mulai dari pencegahan, mitigasi, tanggap darurat hingga rehabilitasi. Peta merupakan salah satu cara terbaik untuk memvisualisasikan hasil penilaian kerawanan (vulnerabilitas). Peta dapat memadukan dimensi keruangan (spasial), karakteristik dari hazard serta berbagai informasi lainnya seperti gambaran lingkungan maupuan data masyarakat yang relevan.

Costa Rica’s Integrated Emergency Information System merupakan salah satu contoh penerapan system informasi geografis dalam setiap siklus manajemen bencana. Sistem ini memiliki database yang cukup penting bagi proses perencanaan yaitu peta tentang bencana alam dan manusia serta inventory sumber daya strategis untuk kesiapan, tanggap serta rehabilitasi bencana. Saat ini, Badan Meteorologi dan Geofisika memiliki peta interaktif yang memuat informasi mengenai bencana yang cukup update. Peta yang terdapat di Internet tersebut menampilkan titik lokasi 30 gempa terakhir, skala gempa, waktu kejadian, serta posisinya (latitude dan longitude).

Pada saat dan setelah bencana terjadi, berbagai aktivitas kesehatan harus dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan para korban serta mencegah memburuknya derajat kesehatan masyarakat yang terkena bencana. Pada tahapan tanggap darurat, energi yang cukup besar biasanya dicurahkan untuk evakuasi korban. Kegiatan lain yang juga sudah harus dimulai segera meliputi kesehatan lingkungan, surveilans dan pemberantasan penyakit, pelayanan kesehatan serta distribusi logistik kesehatan dan bahan makanan. Problem yang seringkali terjadi kemudian adalah persoalan manajemen dan koordinasi kegiatan serta sumber daya. Alokasi tenaga kesehatan, obat-obatan dan bahan makanan memerlukan informasi yang akurat mengenai jumlah populasi dan lokasi penampungan korban.

Setiap bencana memerlukan tindakan prioritas dan kebutuhan informasi yang relatif berbeda. Prioritas tindakan dan kebutuhan informasi pada waktu bencana gempa bumi akan berbeda dengan bencana banjir (lihat gambar 1 dan 2). Namun secara umum, informasi yang dibutuhkan pada waktu penanganan bencana adalah: (1) wilayah serta lokasi geografis bencana dan perkiraan populasi, (2)status jalur transportasi dan sisem komunikasi, (3)ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi dan tempat hunian, (4)jumlah korban, (5)kerusakan, kondisi pelayanan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta tenaga di fasilitas kesehatan, (6)lokasi dan jumlah penduduk yang menjadi pengungsi dan (7) estimasi jumlah yang mennggal dan hilang. Pada tahap awal, tindakan kemanusiaan dan pengumpulan informasi dilakukan secara simultan. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat untuk menentukan tindakan prioritas yang harus dilakukan oleh manajemen bencana.

Penggunaan Global Positioning Systems (GPS) berperan penting dalam menentukan lokasi kamp pengungsi maupun fasilitas kesehatan. Data tersebut dapat digabungkan dengan data spatial dari satelit. Pada awal kejadian tsunami di Aceh, gambar satelit dari Quick Birds sangat bermanfaat untuk mengestimasikan cakupan bencana serta perkiraan sarana transportasi yang rusak. Data spatial tersebut selanjutnya digabungkan dengan informasi mengenai jumlah maupun distribusi pengungsi, ketersediaan air bersih serta bahan makanan akan memberikan masukan penting bagi koordinasi dan manajemen pada fase tanggap darurat.

Proses pengumpulan data dan informasi akan menjadi lebih mudah jika informasi dasar tersedia. Sayangnya, inilah kelemahan di negara kita. Informasi spasial yang lengkap mengenai suatu wilayah kadang-kadang sulit diperoleh. Pada waktu tim UGM berangkat ke Aceh, satu-satunya peta digital yang dimiliki berasal dari BPS tahun 2000 yang waktu hanya mencakup 20 kabupaten (tidak termasuk kabupaten pemekaran). Akhirnya, peta digital yang lengkap justru diperoleh dari komunitas RSGISForum (remote sensing and GIS forum) yang menyediakan peta digital aceh di Internet.

Oleh karena itu, peranan GIS untuk manajemen bencana akan lebih optimal jika sudah dikembangkan sebagai bagian dari pre-disaster plan. Hal inilah yang sekarang sedang dicoba bekerjasama WHO dengan membuat layer dasar fasilitas kesehatan. UGM saat ini sudah menyelesaikan peta fasilitas kesehatan di Aceh dan Jogjakarta. Kegiatan yang sekarang sedang berjalan adalah di Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Pengumpulan data fasilitas kesehatan tersebut relatif lebih mudah dan dapat dilakukan sendiri oleh tenaga kesehatan. Langkah selanjutnya adalah menggabungkan informasi spasial tersebut dengan data yang berasal dari sektor lain seperti, jalur komunikasi dan topografi, jumlah dan distribusi penduduk, serta daerah dan lokasi rawan bencana.

Upaya pengembangan ke depan

  • Sharing informasi merupakan kata kunci di era netwroking seperti saat ini. Hasil pemetaan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada diletakkan di server Pusdatin (yang dapat diakses di http://map.depkes.go.id) yang saat ini memiliki infrastruktur server Internet yang cukup memadai.

Untuk menjamin sustainabilitas, pengembangan sistem informasi geografis memerlukan dua hal:

  • Investasi untuk pengembangan. Investasi ini diperlukan untuk pengadaan perangkat lunak, perangkat keras, pengumpulan sumber data, serta pelatihan bagi perancang serta pengguna sistem informasi geografis (SDM)
  • Updating. Sistem informasi geografis yang hanya mengumpulkan data sewaktu tidak akan bermanfaat banyak. Oleh karena itu, langkah yang terpenting adalah proses updating. Hal ini memerlukan kerjasama lintas sektoral serta fasilitas networking yang memungkinkan updating secara paralel. Dengan adanya Internet, mekanisme updating akan menjadi lebih mudah. Hal inilah yang mendorong populernya perkembangan webmapping (pemetaan di Internet)

    Informasi mengenai fasilitas kesehatan merupakan layer pertama dalam tampilan webmapping tersebut. Langkah selanjutnya adalah melengkapi dengan berbagai layer lainnya, seperti indikator kesehatan, faktor risiko (lingkungan), sumber daya kesehatan. Akan tetapi, penerapan webmapping tersebut sebenarnya merupakan tingkatan tertinggi karena berasal dari berbagai data di level di bawahnya, khususnya kabupaten dan propinsi serta berbagai unit di departemen kesehatan. Oleh karena itu, pengembangan sistem informasi geografis di tingkat kabupaten dan propinsi sebaiknya menjadi bagian penting dalam pengemabangan sistem informasi kesehatan daerah.

    Pengalaman menunjukkan bahwa, meskipun upaya pengembangan sistem informasi geografis di sektor kesehatan sudah dirintis sejak lama, khususnya untuk pemberantasan dan pencegahan penyakit menular. Namun, hingga saat ini dampak dan manfaatnya belum terasa. Semoga dengan semakin meningkatnya kesadaran kita terhadap bencana, sistem informasi geografis bukan lagi menjadi sesuatu yang eksklusif dan dimiliki oleh kalangan tertentu saja, tetapi menajdi bagian dari sistem kesehatan dalam setiap pengambilan keputusan.

    *)disajikan dalam seminar Peranan Kesehatan Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana

     http://anisfuad.wordpress.com/2005/09/13/peranan-sistem-informasi-geografis-kesehatan-dalam-bencana/

Leave a comment »

Bencana dan Muatan Mitos yang Berbahaya


Oleh GPB Suka Arjawa

DARI sisi kemasyarakatan, ada persamaan antara fenomena meletusnya Gunung Kelud di Kediri Jawa Timur dengan Gunung Merapi yang sebelumnya meletus di Yogyakarta. Masyarakat di kedua tempat itu ragu-ragu melaksanakan imbauan pemerintah untuk mengungsi. Di Gunung Merapi, hal ini menjadi perhatian publik begitu luas karena kengototan Mbah Marijan, menolak mengungsi dan ngotot tetap diam di tempat. Mbah Marijan ‘menang’ karena awan panas tidak berembus ke arah pemukimannya. Dalam praktik kebudayaan Jawa (Yogyakarta) ia adalah ‘juru kunci’ Gunung Merapi.

———— ——— ——— ——— –

Sayang sekali, mitos kemudian mengacaukan pikiran rasional. Padahal, pasti ada hukum-hukum fisika yang mampu menjelaskan bagaimana pemukiman di mana Mbah Marijan bertempat tinggal, terhindar dari amukan awan panas merapi. Penjelasan inilah yang gagal dilakukan pemerintah. Hal itu makin tenggelam karena Mbah Marijan kemudian menjadi makin terkenal melalui publikasi media dengan kunjungan artis-artis, tokoh LSM, calon gubernur, calon presiden ke tempat tinggalnya. Bahkan, kuncen Merapi ini sampai menjadi bintang iklan.

Dalam masyarakat dengan budaya agraris yang masih kuat, mitos memegang peran sangat besar dalam interaksi sosial. Ia diperlukan untuk menjaga tradisi dan tindakan sosial yang bersifat altruistik (bertindak secara bersama-sama) . Hutan bisa selamat, air bisa mengalir terus apabila dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mitologi, seperti ada makhluk penunggu dan sebagainya. Tetapi dalam budaya seperti ini pun mitos sangat berbahaya. Salah satu contoh adalah pembunuhan terhadap tukang santet. Di satu daerah di Indonesia, pernah ada masyarakat ramai-ramai membantai orang yang dipandang mempunyai ilmu hitam, padahal orang tersebut adalah orang biasa-biasa saja. Mitos adalah sesuatu yang dipercayai oleh masyarakat, akan tetapi kebenaran terhadap kepercayaan ini kemudian runtuh melalui sebuah penelitian yang bersifat nyata.

Mitos dan Kepentingan

Dalam hal Mbah Marijan, positifnya ia menjaga nilai tradisi. Akan tetapi harus dilihat ia menjaga mitos yang berdampingan dengan hal yang sangat berbahaya (gunung berapi yang siap meletus). Sedikit saja keliru dalam menafsirkan hal ini, puluhan bahkan mungkin ratusan korban jiwa pasti terjadi. Di sinilah, harus ada kearifan yang masuk akal untuk menjaga keselamatan dan harkat martabat umat manusia.

Kegagalan pemerintah menandingi selebritas Mbah Marijan tersebut, mempunyai dampak besar karena citra kebenaran mitos tersebut menjadi lebih besar dan menasional. Apalagi mitos tersebut kemudian didomplengi oleh kepentingan- kepentingan bisnis, politik, dan popularitas. Dalam dunia komunikasi massa, bukan tidak mungkin citra seperti ini mempengaruhi pemikiran masyarakat sekitar Gunung Kelud sehingga berani meragukan bahkan mengabaikan imbauan pemerintah untuk menghindar dari bahaya yang sesungguhnya mengancam nyawa mereka.

Dengan demikian, pemaksaan pengungsian penduduk sekitar Gunung Kelud oleh aparat keamanan, merupakan tindakan yang boleh dikatakan untuk menutupi kegagalan mengatasi mitologi tersebut. Tetapi ini harus dipandang sebagai langkah yang benar dan pantas dari pemerintah, perwujudan tugas untuk menyelamatkan masyarakat, sekaligus solusi dari tabrakan antara budaya tradisional- agraris dengan budaya modern rasional yang mengandalkan ilmu pengetahuan. Mengungsi harus dilakukan demi keselamatan bersama meski kelak Gunung Kelud itu meletus. Data memperlihatkan bahwa potensi meletus telah amat besar. Dari berbagai berita dan tulisan disebutkan bahwa sampai saat ini, teknologi paling modern pun masih belum bisa menentukan dengan pasti kapan gunung tersebut meletus. Hal yang juga berlaku untuk gempa bumi dan tsunami.

Sisi lain yang diperlihatkan dari peristiwa bersikerasnya penduduk untuk bertahan dan pengungsian paksa oleh aparat pemerintah itu, adalah perlunya sebuah undang-undang tentang keadaan darurat dari jenis bencana alam ini. Apa boleh buat, sikap tradisional dan bersikeras ini memperlihatkan bahwa masyarakat tidak mengenal apa itu bahaya yang mengancam nyawa mereka. Pembuatan undang-undang untuk mengatur persoalan seperti ini barangkali berlebihan. Tetapi itu terpaksa harus dilakukan, sebab tidak hanya sekali masyarakat terkesan ngeyel untuk menghindar dari tempat berbahaya. Kasus flu burung dan kedisiplinan masyarakat memelihara unggas juga demikian. Meski Indonesia merupakan negara terbesar korban flu burung di dunia, sampai sekarang di kampung-kampung tetap masyarakat membiarkan ayamnya hidup berkeliaran. Tidak ada kesadaran sama sekali. Jika sudah ada korban, mereka baru panik dan kelimpungan mencari kambing hitam, akhirnya menyerahkan diri pada nasib dan (lagi-lagi) mitos.

Keberanian masyarakat menolak imbauan pemerintah untuk mengungsi dan sebaliknya terjadinya pemaksaan oleh aparat, disebabkan oleh tidak adanya undang-undang jenis ini. Sementara di sisi lain tidak mampunya pemerintah memberikan penjelasan yang meyakinkan secara ilmu pengetahuan kepada masyarakat, dengan bahasa yang mudah mereka pahami dan bisa terima

Comments (1) »