Kebijakan Penanggulangan Bencana Integratif

Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif

Oleh : Heru Susetyo

Indonesia adalah negeri yang sarat dengan bencana alam. Tengoklah musibah datang silih berganti. Gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006, lalu tsunami di pantai Selatan Jawa pada 17 Juli 2006. Kesemuanya adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Yang menunjukkan bahwa nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut. Bahwa, ternyata kita belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik.

Contoh paling nyata adalah penanganan bencana tsunami pantai selatan Jawa 17 Juli 2006. Tsunami pantai selatan telah menelan korban jiwa sekitar 531 jiwa dan 280 jiwa lainnya hilang. Kerusakan fisik yang terjadi luar biasa besarnya karena terpaan tsunami mengoyak daratan hingga 300 meter jauhnya.

Sebenarnya skala kerusakan dapat diminimalisir apabila negara Indonesia memiliki manajemen peringatan dini yang baik. Apabila kita cepat belajar dari tsunami Aceh-Sumut 2004. Karena Hawai Pacific Tsunami Warning Center dan Japan’s Meteorological Agency sebelumnya telah mengeluarkan peringatan (warning) akan kemungkinan terjadinya tsunami 15 menit setelah gempa terjadi. Dan, memang tsunami kemudian menyapu pantai selatan Jawa 45 menit setelah gempa terjadi tanpa sedikitpun ada peringatan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah setempat. Kalaupun pemerintah berkehendak memberikan peringatan, medianya-pun terbatas. Tak ada alarm ataupun sirine di pinggir pantai yang setiap saat dapat difungsikan (Grundy, 2006).

Maka, tak heran apabila mudah sekali timbul informasi menyesatkan pasca bencana. Bahwa tsunami akan kembali datang, ombak telah sampai pinggir pantai, dan sebagainya. Sehingga membuat masyarakat setempat kembali panik dan berlarian tak beraturan hingga kembali memakan korban jiwa.

Terlepas dari kenyataan bahwa bencana alam adalah bagian dari takdir Illahi, sehingga seringkali tak bisa dicegah, namun manusia memiliki kekuatan akal dan pengetahuan yang semestinya bisa dimaksimalkan untuk mereduksi atau meminimalisir bahaya (damages) bencana alam.

Dalam suatu lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) ada dua kegiatan besar yang dilakukan. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness (Makki, 2006).

Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness), latihan penanggulangan bencana (disaster drill), penyiapan teknologi tahan bencana (disaster-proof), membangun sistem sosial yang tanggap bencana, dan perumusan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana (disaster management policies).

Kebijakan yang Memprihatinkan

Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia bisa dibilang memprihatinkan. Apabila kebijakan tersebut harus dituangkan melalui Undang-Undang, maka kenyataannya sampai sekarang kita belum memiliki UU Penanggulangan Bencana ataupun kebijakan terpadu sejenis yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi (semacam disaster management act).

Dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2005 – 2009 pemerintah dan DPR cenderung lebih memprioritaskan pengundang-undangan RUU bidang ekonomi (sebanyak 28 RUU) dan bidang politik (sebanyak 14 RUU). Rancangan Undang-Undang tentang Manajemen/ Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan sama sekali. Barulah ketika bencana tsunami dan gempa bumi Aceh/ Sumut tahun 2004 terjadi, desakan untuk lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU ini tengah dalam proses pembahasan yang entah kapan akan diundangkan.

Regulasi yang tersedia saat ini hanyalah Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001.

Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979. Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man-made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001). Selanjutnya, Keppres ini disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.

Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999 –pun tidak bertahan lama. Sebabnya antara lain pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan Bakornas PBP kehilangan salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah kemudian menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP.

Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu : (1) tahap penyelamatan; (2) tahap pemberdayaan; (3) tahap rekonsiliasi; dan (4) tahap penempatan. Sedangkan, kegiatan penanganan pengungsi meliputi kegiatan-kegiatan : (1) penyelamatan (2) pendataan (3) bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan masyarakat/ LSM (Sekretariat Bakornas PBP, 2001).

Pengalaman Jepang

Jepang adalah negara Asia yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia dalam hal saratnya terjadi bencana. Terletak pada zona mobil circum-Pacific dan memiliki kondisi geografi, topografi, dan meteorologi yang khas, membuat gempa bumi, hujan deras dan banjir, letusan gunung api, hujan salju berskala besar, hingga badai (typhoon) sangat sering terjadi di Jepang setiap tahunnya. Bedanya, negara ini memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana yang amat baik. Termasuk, dimilikinya sejumlah regulasi dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan manajemen penanggulangan bencana terpadu.

Sebelum tahun 1960, Jepang belum-lah memiliki kebijakan penanganan bencana yang terpadu (integrated disaster management). Titik baliknya terjadi sejak terjadi badai besar Ise-Wan pada tahun 1959 yang disebut sebagai the Epoch-Making Turning Point. Sejak itu pendekatan penanggulangan bencana berubah dari response oriented approach kepada preventive approach. Kemudian dari Individual approach menjadi comprehensive multi-sectoral approach. Juga, dibenamkan sejumlah besar investasi untuk program-program pengurangan resiko bencana (Investment for disaster reduction).

Pada tahun 1961 Jepang melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act (1961) yang mengatur dan memiliki sejumlah elemen antara lain :

  • Pendirian Dewan Penanggulangan Bencana (Disaster Management Council) di tingkat nasional, prefektur, kota/ municipality berkoordinasi dengan organisasi-organisasi multi sektoral.
  • Pemantapan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan) di tingkat nasional, prefektur, dan kota/ municipality.
  • Pemantapan markas pusat yang bersifat ad hoc dan kerjasama multisektoral untuk respon gawat darurat .

Penanggulangan bencana alam di Jepang dilakukan utamanya oleh pemerintah kota/ municipal. Apabila skalanya terlalu besar, maka pemerintah prefektur dan nasional akan turun tangan. Upaya koordinatif dan integratif semacam ini yang didukung oleh program promosi konservasi bumi tingkat nasional, peningkatan teknologi meteorologi, penyempurnaan sistem komunikasi bencana dan manajemen bencana, telah terbukti dapat mengurangi dampak bencana dan meminimalisir korban jiwa dalam bencana di Jepang selama ini.

Faktor sukses berikutnya, adalah tersedianya sejumlah besar kebijakan penanggulangan bencana yang komprehensif dan integratif. Bahkan, tak hanya sejak tahun 1960. Kebijakan setingkat Undang-Undang (act) ini telah dirintis sejak tahun abad 18-an dan berlanjut hingga kini. Adapun daftar kebijakan-kebijakan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut :

Daftar UU terkait Penanggulangan Bencana Alam di Jepang

Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif

Belajar dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam menghadapi bencana alam, semestinya demikian pula-lah Indonesia. Sebagai negari yang sarat bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih luas serta jumlah penduduk yang jauh lebih banyak, semestinya kita tak bertaruh lagi untuk masalah ini.

Program-program dan kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana harus segera dirintis dan dikembangkan. Pendidikan sadar bencana dan latihan menghadapi bencana mesti segera dibiasakan. Pusat-pusat studi dan pelatihan menghadapi bencana wajib untuk dimunculkan dan didukung sepenuhnya. Juga, kebijakan dan manajemen penanggulangan bencana mesti segera ditata dan dilahirkan.

Tak ada alternatif lain bagi Indonesia saat ini selain menggesa lahirnya kebijakan penanganan bencana yang komprehensif dan integratif. Kebijakan ini bisa bernama UU Penanggulangan Bencana atau apapun. Karena, satu Undang-Undang saja tak cukup untuk mengatur ribuan permasalahan di bidang penanggulangan bencana. Maka, perlu ada kebijakan yang integratif. Semisal, mengamandemen UU terkait di wilayah lain (kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, sumber daya air, dll), supaya selaras dengan semangat penanggulangan bencana. Ataupun membuat UU baru di wilayah yang belum banyak dijangkau selama ini. Jepang misalnya, memiliki UU tentang sungai, tentang banjir, tentang polusi di laut, tanah longsor, hingga penanggulangan bahaya nuklir.

Karena membuat UU yang lengkap dan integratif cukup memakan waktu dan dana, maka barangkali prioritas utama saat ini adalah menggesa lahirnya UU Penanggulangan Bencana (yang mudah-mudahan segera diikuti oleh UU terkait di wilayah yang lain). Kami memantau bahwa banyak sekali pihak-pihak yang sebenarnya telah memberi masukan bahkan membantu membuatkan draft UU tersebut ke DPR. Disamping itu, pedoman tentang manajemen bencana telah terserak dalam pelbagai instrumen internasional seperti pada Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian/ Disaster Relief yang disponsori oleh Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan beberapa lembaga internasional seperti OCHA (UN Office for Coordination of Humanitarian Affairs) ataupun lembaga lain yang bergerak di bidang intervensi kemanusiaan.

Selain itu, secara simultan mestinya Pemerintah dan DPR dapat meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) Karena, tak jarang dari korban konflik dan bencana di Indonesia lahir banyak pengungsi yang hijrah dan terlantar di negara lain.

Selain pengungsi, masalah yang juga urgent adalah menangani pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons – IDPs) yang keberadaannya di luar yurisdiksi dari Konvensi Pengungsi 1951 yang hanya mengatur pengungsian antara negara. Masalah perlindungan pengungsi dalam negeri ini harus diintegrasikan dengan UU Penanggulangan Bencana atau dibuatkan Undang-Undang tersendiri. Rujukannya adalah pada The Guiding Principles on Internal Displacement yang diproduksi oleh Office for Coordinating of Humanitarian Agencies (OCHA) PBB pada tahun 1998.

Maka, tunggu apa lagi? Mari segera kita realisasikan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia dan kita budayakan hidup dalam kesiapsiagaan terhadap bencana. Atau, anak bangsa kita akan mengalami lagi kerugian dan kehilangan yang besar pada bencana alam yang akan datang. Wallahua’lam…

 

 

 

Bencana Alam dan Delegitimasi

Oleh : Ach. Faidy Suja’ie

Siapa yang tidak kenal Indonesia? Negara yang terhampar dari Sabang sampai Merauke ini mempunyai berjuta kekayaan alam yang melimpah, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo, kata inilah yang mampu menggambarkan kekayaan Indonesia. Selain kaya budaya, bahasa, agama dan adat istiadat, ternyata belakangan ini bumi pertiwi juga tercatat sebagai negara yang kaya akan bencana alam. Hal ini, disebabkan oleh posisi Indonesia yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng besar yang aktif, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.

Tiga tahun terakhir merupakan tahun bencana bagi bangsa Indonesia, dimana rakyat Indonesia mengawali pergantian tahun ini dengan berbagai bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami) yang hampir merata diseluruh pelosok tanah air, kondisi alam inilah yang memaksa masyarakat berdesak-desakan di wilayah pengungsian, berjuang melawan ketidaknyamanan untuk mempertahankan hidupnya sambil menunggu bantuan yang akan diberikan oleh saudara-saudaranya dan kucuran dana dari pemerintah.

Di kantong-kantong pengungsian inilah mereka harus berperang dengan banyaknya gangguan kesehatan, karena terbatasnya bahan makanan yang dapat dikonsumsi, lingkungan yang serba kotor dan kumuh, serta carut-marutnya lingkungan hidup disekitarnya. Tentunya hal ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah untuk menanggulanginya dan menjadi tanggung jawab lembaga legislatif untuk mengontrol setiap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Berawal dari peristiwa tsunami di Aceh yang menelan korban 285.000 jiwa, termasuk korban di negara – negara lain, kemudian banjir bandang di Jember, merupakan peristiwa bencana alam yang mengawali pergantian tahun 2006, disusul gempa di Jogja dan jawa Tengah. Bencana geologi terkini adalah bencana alam yang menimpa masyarakat pantai Pangandaran dan sekitarnya.

1. Berebut Muka

Analisis Erving Goffman, sosiolog ternama abad ke-20 tentang tingkah laku manusia, dia mengibaratkan prilaku manusia sebagai metafora teatrikal. Dimana lingkungan masyarakat menjelma menjadi sebuah panggung sandiwara dan orang-orang di dalamnya bertindak sebagai aktor dan aktris yang menyusun performa untuk memberi kesan baik pada yang lainnya.

Tampaknya analogi di atas sangat relevan untuk digunakan dalam melihat hiruk-pikuk yang terjadi di bumi nusantara selama negeri ini diguncang bencana alam yang berkepanjangan. Fenomena ditempat-tempat pengungsian ramai sekali dengan kunjungan orang, mulai dari rakyat biasa sampai rakyat yang tidak biasa (wakil rakyat atau legislatif dan ekesekutif).

Kelompok pertama; golongan yang menjadikan wilayah bencana sebagai tempat rekreasi (bencana-tainment), mereka datang berbondong-bondong dengan keinginan menikmati nuansa alam pasca bencana. Kerena itulah, di beberapa tempat terjadinya bencana sering terjadi kecemburuan bagi korban bencana, mereka beranggapan telah ditempatkan sebagai tontonan masyarakat banyak.

Kelompok kedua; elit politik dan elit pemerintahan yang datang berkunjung ketempat-tempat bencana dengan seribu janji dan sejuta iming-iming bagi korban bencana, seolah-olah mereka tampak murung dan sedih melihat penderitaan yang menimpa masyarakat korban bencana, nyatanya, semua itu dilakukan untuk membangun image di masyarakat semata. Alih-alih ingin membantu, secara personal baik birokrat maupun politisi dari level paling bawah sampai level paling atas, dengan dorongan ingin berkuasa (will to power) datang dengan janji, lalu setelah itu selesai sudah.

Kelompok ketiga; Ormas, Parpol dan LSM, terjadinya bencana alam di seluruh pelosok negeri mengundang perhatian banyak kalangan untuk memberikan bantuan, datanglah tenaga-tenaga sukarelawan dari berbagai instansi dan institusi, semua akan mafhum, bahwa kelompok ketiga inilah yang melakukan evakuasi korban, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam, tetapi tidak dapat dipungkiri juga, bahwa bencana alam menjadi lahan basah bagi kelompok ini untuk mengais lebih banyak lagi proyek yang mengalir pada mereka.

2. Krisis Legitimasi

Oleh karena tidak didasari rasa tanggung jawab sebagai pemerintah yang secara de jure mempunyai kewajiban untuk melindungi masyarakatnya, termasuk perlindungan masyarakat dari bencana alam, meskipun menurut logika, memang tidak mungkin menghentikan bencana dan menghalangi bencana sebagai rutinitas alamiah, akan tetapi bagi wilayah yang rawan bencana, seharusnya Indonesia tidak hanya melakukan evakuasi, rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap korban bencana alam, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada saat sebelum terjadinya bencana, usaha ini dapat memperkecil korban jiwa dan harta kekayaan.

Benar apa yang dikatakan Micheal Foucault (1980) bahwa perlawanan telah menjadi bagian yang melekat dari sebuah kekuasaan. Penerapan kekuasaan selalu berbanding lurus dengan munculnya sejumlah kekerasan di masyarakat. Menghadapi kenyataan sebuah kekuasaan dan “teatrikal” penguasa, para korban bencana alam akan melakukan perlawanan. Penjarahan, perampokan, perusakan fasiltas umum, dan berlaku culas adalah serangkaian strategi perlawanan yang menentang dehumanisasi dan “teatrikal” elit politik dan kaum birokrat.

Untuk menghindari resistensi legitimasi pemerintah, paling tidak harus ada langkah kongkret dari pemerintah untuk membuat janji-janjinya menjadi nyata, dua hal yang ingin penulis sampaikan disini, pertama, pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadai bencana alam jauh lebih penting dilakukan sebelum bencana alam terjadi. Kedua, korban bencana alam bukan kawula yang hanya dijadikan objek meraih kekuasaan politik semata, daerah bencana bukan tempat rekreasi serta tidak bijak dijadikan tempat mengais rezeki. Oleh karena itu, wujudkan janji-janji pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban bencana alam di tempat pengungsian, realisasikan program rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Dengan dua langkah inilah setidaknya dapat membantu Indonesia keluar dari krisis bencana alam dan krisis legitimasi.

Akhirnya, bagaimanapun harus diakui, bahwa semua kelompok yang disebutkan diatas, merupakan pihak-pihak yang paling berjasa mengembalikan kondisi bangsa dan melakukan rekonstruksi daerah bencana alam, tanpa mereka, Indonesia tak ubahnya seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA), karena setiap detik, sepanjang waktu selalu saja dilanda bencana dan bencana.

 

 

 

DISASTER RECOVERY PLAN TEMPLATE
by Janco Associates

This Disaster Recovery Plan (DRP) can be used as a template for any enterprise.
DRP is sent to you via e-mail or on CD in Microsoft WORD format.

The plan is 180+ pages and includes everything needed to customize the Disaster
Recovery Plan to fit your specific requirement. The electronic document includes
proven written text and examples for the following major sections of a disaster
recovery plan:
– Plan Introduction
– Business Impact Analysis – including a sample impact matrix
– DRP Organization Responsibilities pre and post disaster
– Recovery Strategy including approach, escalation plan process and
decision points
– Disaster Recovery Procedures in a check list with approval format
– Plan Administration Process
– Technical Appendix including definition of necessary phone numbers and
contact points
– Job Description for Disaster Recovery Manager (3 pages long)

There is an extensive section that show how a full test of the DRP can be
conducted. It includes
– Disaster Recovery Manager Responsibilities
– Distribution of the Disaster Recovery Plan
– Maintenance of the Business Impact Analysis
– Training of the Disaster Recovery Team
– Testing of the Disaster Recovery Plan
– Evaluation of the Disaster Recovery Plan Tests
– Maintenance of the Disaster Recovery Plan

– – – – – – – – –
– –

NEW WITH VERSION 4.0:

– Vendor Disaster Recovery Questionnaire
– Vendor Phone List Form Updated
– Key Customer Notification Form
– Critical Resources to be Retrieved Form
– Business Continuity Off-Site Materials Form
– Department Disaster Recovery Planning Workbook

– – – – – – – – –
– –

“The DRP Template saved me about 6 months of work!” – Bob Rifenbury,
MCSE/CCNA Lauch Testing Lab

“I have received and I began using the template immediately. IT IS GREAT! Made
this process a snap for me. Cut my documentation time down from weeks to
hours! This document has made, what began to be an overwhelming process turn
into a snap!” – Kelly Keeler, Martin’s Point Health Care.

– – – – – – – – –
– –

TABLE OF CONTENTS

1.0 PLAN INTRODUCTION
1.1 Mission and Objectives
1.2 DRP Scope
1.3 Authorization
1.4 Responsibility
1.5 Key Plan Assumptions
1.6 Disaster Definition

2.0 BUSINESS IMPACT ANALYSIS
2.1 Scope
2.2 Objectives
2.3 Critical Time Frame
2.4 Application System Impact Statements
1. Essential
2. Delayed
3. Suspended
2.5 Summary Conclusion

3.0 RECOVERY STRATEGY
3.1 Approach
3.2 Escalation Plans
3.3 Decision Points
PLAN 1
PLAN 2
PLAN 3

4.0 DISASTER RECOVERY ORGANIZATION
4.1 Recovery Organization Chart
4.2 Disaster Recovery Team
4.3 Recovery Team Responsibilities
Recovery Management
Senior Recovery Manager Responsibilities
Pre-Disaster
Post-Disaster
Recovery Manager Responsibilities
Pre-Disaster
Post-Disaster
Damage Assessment and Salvage Team
Damage Assessment and Salvage Team Responsibilities
Pre-Disaster
Post-Disaster
Physical Security
Pre-Disaster
Post-Disaster
Administration
Pre-Disaster
Post-Disaster
Hardware Installation
Pre-Disaster
Post-Disaster
Systems, Applications and Network Software
Pre-Disaster
Post-Disaster
Communications
Pre-Disaster
Post-Disaster
Operations
Pre-Disaster
Post-Disaster

5.0 DISASTER RECOVERY EMERGENCY PROCEDURES
5.1 General
5.2 Recovery Management
5.3 Damage Assessment and Salvage
5.4 Physical Security
5.5 Administration
5.6 Hardware Installation
5.7 Systems, Applications & Network Software
5.8 Communications
5.9 Operations

6.0 PLAN ADMINISTRATION
6.1 Disaster Recovery Manager
6.2 Distribution of the Disaster Recovery Plan
6.3 Maintenance of the Business Impact Analysis
6.4 Training of the Disaster Recovery Team
6.5 Testing of the Disaster Recovery Plan
6.6 Evaluation of the Disaster Recovery Plan Tests
6.7 Maintenance of the Disaster Recovery Plan

7.0 APPENDIX
COMPANY Sales Offices
Recovery Team Phone/Address List
Vendor Phone/Address List
Off-Site Inventory
Hardware/Software Inventory
People Interviewed
Preventative Measures
Sample Application Systems Impact Statement

– – – – – – – – –

EXCERPTS FROM DISASTER RECOVERY PLAN TEMPLATE
Copyright © Janco Associates, Inc.

1.0 PLAN INTRODUCTION

“COMPANY recognizing their operational dependency on computer systems,
including the Local Area Network (LAN), Database Servers, Internet, Intranet and
e-Mail, and the potential loss of revenue and operational control that may occur in
the event of a disaster; authorized the preparation, implementation and
maintenance of a comprehensive disaster recover plan.

“The intent of a Disaster Recovery Plan is to provide a written and tested plan
directing the computer system recovery process in the event of an interruption in
continuous service resulting from an unplanned and unexpected disaster. The
Disaster Recovery Plan preparation process includes several major steps as
follows:
– Identify Systems and Applications currently in use.
– Analyze Business Impact of computer impact and determination of critical
recovery time frames.
– Determine Recovery Strategy
– Document Recovery Team Organization
– Document Recovery Team Responsibilities
– Develop and Document Emergency Procedures
– Document Training & Maintenance Procedures.

“These steps were conducted and this document represents the completed effort in
the preparation of the COMPANY Disaster Recovery Plan.

– – – – – – – – –

1.5 KEY PLAN ASSUMPTIONS

“The following assumptions have been established as the basis for the
development of the Disaster Recovery Plan:
– The plan is designed to recover from the “worst case” destruction of the
COMPANY operating environment. The worst case excludes any non-data
processing function that may be in close proximity to the data center or
workstations.
– Although the plan is designed for worst case, inherent in the plan strategy
is the ability to recover up to the most minor interruption, which is perhaps a more
likely situation.
– The plan is base upon a sufficient number of center staff not being
incapacitated to implement and affect recovery. Therefore, the level of detail of the
plan is written to a staff experienced in the Company’s computer services.
Development, testing and implementation of new technologies and applications are
suspended so that all resources are available to recover existing critical production
processing.
– Off-site inventory and equipment acquired through vendors is considered to
be the only resource with which to recover computer processing. Items at the
original site are not expected to be salvageable and used for recovery. This
includes items stored in any on-site security location.
– An alternate site (backup computer facility) in which to establish recovery
of computer processing is necessary. Time frame requirements to recover
computer processing are significantly less than estimated times to
repair/reconstruct a data center on an emergency basis.
– The computer facilities of the alternative site is not within the scope of this
plan and is assumed not to be impacted by any disaster which may interrupt
computer operations at COMPANY offices.

2.1 SCOPE

“The scope of the Business Impact Analysis is the COMPANY operating
departments supported by data center facilities located at
_________________________. This network encompasses the following
information technology services:
– General business applications, such as word-processing, spreadsheet
and database applications
– e-Mail
– File servers supporting all business operations
– Gateway to the host applications and other sites

“To determine the maximum time frame allowable, the following COMPANY
operating departments were interviewed (See Appendix – People Interviewed):
– Information Technology
– Sales
– Marketing
– Credit
– Finance
– Human Resources
– Manufacturing
– Distribution
– Customer Service
– Accounting
– Investor Relations

4.3.5 HARDWARE INSTALLATION

“The Hardware Team is responsible for site preparation, physical planning, and
installation of data processing equipment to meet the required processing capacity
of COMPANY in the event of a disaster. This includes responsibility for ordering
and installing hardware for both the alternative site and the permanent site.

“Pre-Disaster
– Understand role and responsibilities within the Disaster Recovery Plan
– Work closely with Recovery Management Team to reduce possibility for
disaster in data center (See Preventative Measures in Appendix)
– Train employees in emergency preparedness
– Participate in Disaster Recovery Plan tests as required
– Maintain current system and LAN configuration in off-site storage

“Post-Disaster
– Verify with alternative site the pending occupancy requirements
– Inspect the alternative site for physical space requirements
– Interface with Software, Communications and Operations Team members
on space configuration of alternative site
– Coordinate transportation of salvageable equipment to alternative site
– Notify Administration Team of equipment required
– Ensure installation of ___ temporary terminals connected to alternative
site mainframe
– Plan the hardware installation at the alternative site
– Install hardware at the alternative site
– Plan, coordinate transportation of and install hardware at permanent site,
when available”

 

 

 

 

 

 

 

Pre-Disaster Educational Planning and Personal-Best Learning

By Robert Oliphant

Like Pearl Harbor and 9/11, Hurricane Katrina will probably stay in our national-disaster vocabulary for a long time, especially where American cities are concerned. Right now, I suspect, a number of school boards are probably grilling candidates for the post of school superintendent with questions like “What would YOU do if WE had to close down our schools for six weeks?”

For parents and educators as well, this particular question is worth thinking about. To ask it, after all, indicates the underlying social and civic importance of what might be called the L-word (“learning”), as opposed to the physical existence of hurricanes, school buildings, classrooms, teachers , and even school superintendents. For aspiring school superintendents, then, here are some learning-related points worth considering if a panel of examiners asks one to start thinking about the unthinkable.

Learning is voluntary . . . . There’s no doubt that teachers are important.
But students must always do the actual learning, either in a classroom setting or by themselves at home. With school buildings, classrooms and teachers out of the picture, a cautious candidate for school superintendent would probably begin by pointing out that closing a school system will require some kind of personal-best learning program, ideally one that will offer suitable rewards to those learners who volunteer to participate.

Learning is difficult . . . . Our natural tendency toward forgetfulness protects our minds against confusion. But it also requires us to spend plenty of time, directly or indirectly, in the learning process, very much like hammering soft nails into hard, resistant wood. Nationwide, therefore, our accreditation organizations still measure the learning process in credit hours at the rate of roughly 40 hours each week from each average-ability full-time student. So our candidate’s major challenge will be that of explaining the time-commitment challenge, namely, how to persuade young people to spend 240 hours of their precious time in learning activities that will be practical and nationally creditable.

Practically considered, especially for grades 4 through 12, our candidate will probably urge the school board to think about a city-wide reading program. At an overall national-standard rate of 300 words per minute for fiction, such a program would open the door to personal-choice fiction reading by each student at 18,000 words per hour, which translates into one 300-page novel in five hours, and 48 of them (or the equivalent) in 240 hours. With an ambitious target like this, a school superintendent can well afford to let each learner choose what he or she wants to read – as long as the hours add up to an educationally respectable total.

Learning is measurable . . . . As far as personal choice reading goes, the National Endowment for the Arts, in ” Reading at Risk,” has recently called for a “nationwide renaissance of literary reading” that explicitly defines “literary” as encompassing ANY KIND of novel: Danielle Steele or Daniel Defoe, Ann Rice or Ann Tyler. In addition, there’s plenty of research, much of it pulled together by Stephen Krashen and his followers, to indicate that any youngster who demonstrably reads 48 personally chosen novels will certainly achieve substantial improvement in vocabulary awareness (especially multiple meanings), reading comprehension, and other language skills.

With thousands and thousands of novels available (especially via Internet), along with language-skills improvement as a program target, our candidate will probably urge the school board’s approval of measurable-impact testing. In so doing, he or she would certainly draw attention to current medical practice, where physicians now prescribe personal-choice wholesome diet and exercise for their patients, while monitoring the impact later on with low-cost on-site standardized tests covering pulse rate, blood pressure, cholesterol, and blood sugar, etc.

Maximum-time reading, maximum impact upon language skills, low cost impact-testing – our candidate could argue persuasively for such a program by pointing to organizations like Thomson Prometrics ( www.prometric.com ), which offers proctored testing opportunities worldwide for XML certification, along with 360 other test-certification programs that range from the American Concrete Institute to the Wyoming Insurance Department. Coming closer to home, he or she could also point out the importance of language skills in these programs, along with the fact that today full service book stores like Barnes and Noble give test-taking manuals over ten times the shelf space that they give to dictionaries.

Learning is manageable . . . . If a mind, as Marva Collins famously put it, “is a terrible thing to waste,” it is even more a terrible thing to invade, even under the color of law, social value, and educationally good intentions. So it’s quite likely that our aspiring school superintendent will invoke current managerial theories, including the game-theory contributions of James Buchanan, Herbert Simon. and Thomas Schelling , all Nobel prizewinners, to support a “Liar’s Dice” system for encouraging high, non-coercive levels of learner participation.

As in the game show Jeopardy, a Liar’s Dice program links each high activity claim to an equally high level of risk and potential reward. Thus a 240-hour reading activity claim producing an A-level test score would justify an A-level performance certificate, along with an equivalent level of academic credit. In contrast, if the same 240-hour claim yielded a B-level score, the participant would earn only a C plus certificate. If worked out in detail by testing professionals, this approach would produce a very high level of participation and achievement at a very low cost per participant.

TO CONCLUDE. . . . Our candidate for school superintendent might well close by telling the school board that a city of 100,000 with a K-12 public school enrollment of 15,000 might well produce 2.6 million hours of measurably useful personal-best learning with such a disaster-response educational program, doing so at a preliminary design-cost of less than $200,000. As in any job interview, the question itself is purely hypothetical. But I believe it would open the door to many other equally interesting questions and a lively exchange – all in the interests of responsible public service.

Responsible public service today has many doors, very much like the Beatles’ movie “Help,” where four separate doors open from the street onto the same spacious living room. One of those doors, and the most important, is that of formally accredited public education. But the others, especially those opening up in the private sector today, are well worth knowing about, and using.

As our nation becomes more and more disaster-conscious, I believe that pre-disaster planning is going to get much more attention in the next couple of years, along with open discussion of all reasonable alternatives – deservedly so, I’m sure most of us will agree.

 

Tinggalkan komentar