Banjir Tertahan di Cekungan

[Kompas]Lamongan,- Banjir di Kecamatan Laren, Lamongan, dan Kecamatan Widang, Tuban, bertahan sejak Desember 2007 sampai saat ini karena wilayah itu berbentuk cekungan. Luapan Bengawan Solo tidak bisa mengalir ke laut, apalagi saat air laut pasang. Hal itu diperparah dengan belum tuntasnya perbaikan tanggul sungai di Simorejo, Widang, Tuban.

Demikian Koordinator Pengendalian dan Pengamanan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan Solo Moeljono, Kamis (27/3), yang dihubungi dari Lamongan. ”Pendangkalan di sudetan Plangwot hingga Sidayulawas, Paciran, Lamongan, juga membuat air menjadi mandek,” katanya.

Hal itu ditambah dengan luapan sungai-sungai lokal, seperti Kali Gandong, Kali Tidu, Kali Ganggang, Kali Dander, Kali Kedungbajul, Kalipacal, Kali Besuki, Kali Mekuris, dan Kali Semarmendem.

Sujono, warga Laren, Lamongan, berharap ada pintu air untuk mengalirkan genangan ke muara sungai.

Sedimentasi di waduk

Erosi dan sedimentasi merupakan permasalahan daerah aliran Sungai Bengawan Solo. Sedimentasi di Waduk Gadjah Mungkur di hulu sungai itu kini mencapai 30 persen dari kapasitas tampungan waduk. Jika tidak segera ditangani, air dapat melimpah di atas waduk dan menyebabkan banjir besar di hilir.

Hal itu dipaparkan Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Sungai dan Danau Deputi III Kementerian Negara Lingkungan Hidup Hantung Deddy Rediansyah pada Seminar Nasional ”Kebijakan dan Implementasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo” di Universitas Sebelas Maret Solo, Kamis (27/3).

”Penanggulangan yang dapat dilakukan adalah pengerukan, konservasi lahan, dan perawatan waduk,” ujar Hantung.

Menurut Bupati Wonogiri Begug Poernomosidi yang juga salah satu pembicara, peningkatan laju sedimentasi merupakan akibat makin luasnya lahan kritis di daerah hulu dan penanaman lahan pasang surut. Penambangan di sungai juga menyumbang kerusakan DAS Bengawan Solo.

Di Dukuh Cepu Kidul, Desa Cepu, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, sempadan Bengawan Solo rusak dan rawan longsor akibat diterjang tiga kali banjir besar sejak awal 2008. Menurut Warsono (56), warga Dukuh Cepu Kidul, Kamis, selain berdampak pada sungai, kerusakan itu memperpendek jarak tepi sungai dengan permukiman penduduk.

Banyaknya hutan gundul di hulu Sungai Bengawan Madiun dan pendangkalan Waduk Gadjah Mungkur juga menjadi penyebab banjir berulang di Kabupaten Madiun dan Ngawi.

Di hulu Sungai Bengawan Madiun yang masuk wilayah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Madiun terdapat 871,3 hektar lahan kritis dan 3.120 hektar lahan kritis yang sudah direhabilitasi, tetapi usia pohon masih satu tahun sehingga kemampuan menyerap air belum maksimal. Total hutan di KPH Madiun mencapai 31.221,8 hektar.

Di daerah hulu Sungai Bengawan Madiun yang masuk wilayah KPH Lawu, terdapat 3.888,4 hektar lahan kritis dari total luas lahan 52.474,4 hektar.

Kepala Humas KPH Madiun Budi Karyanto, Kamis, mengatakan, salah satu penyebab lahan kritis di KPH Madiun adalah penebangan hutan secara liar.

Laju kerusakan hutan di Sumatera Selatan yang mencapai sekitar 500 hektar per tahun menyebabkan pendangkalan Sungai Musi dan sembilan anak sungainya sehingga bencana banjir kerap kali muncul akibat luapan sungai.

Hal itu diungkapkan Koordinator Divisi Polusi Industri Walhi Sumatera Selatan Dolly Reza Pahlevi dan Biro Jaringan dan Kampanye Walhi Sumsel Mualimin, Kamis di Palembang.

Data Walhi Sumsel menunjukkan, 60 persen dari total 3,7 juta hektar hutan di Sumsel rusak akibat penebangan liar dan konversi ke lahan perkebunan.

Lingkungan rusak

Dari Kalimantan Selatan, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalsel Rakhmadi Kurdi, Kamis, mengatakan, banjir di sejumlah kecamatan di Kabupaten Banjar yang berada di sepanjang Riam Kiwa dipastikan akan semakin sering terjadi.

Penyebabnya, daerah tangkapan air di DAS Riam Kiwa rusak parah. Menurut Rakhmadi, daerah itu nyaris tidak berhutan lagi. Tahun 1970-an daerah itu menjadi wilayah hak pengusahaan hutan (HPH). Tahun 1980-an hingga sekarang, lingkungan bertambah rusak akibat maraknya penambangan batu bara dan emas.

Lahan kritis juga terjadi di DAS Barito, demikian Kepala Badan Pengelola DAS Barito Eko Kuncoro.

Terkait banjir di Provinsi Riau, menurut pengamat lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Arinul, adalah akibat sebagian besar daerah tangkapan air sudah beralih fungsi dan gundul. Kondisi ini juga disebabkan penyimpangan penataan wilayah yang tak berbasis ekosistem. Industri, perkebunan, dan permukiman seakan berjalan sendiri-sendiri.(ACI/SON/HEN/APA/ONI/CAS/FUL/SAH/EGI)

Tinggalkan komentar